Jumat, 10 Oktober 2014

thararah dalam islam



A.    THAHARAH
1.      Pengertian Thaharah
Kata Thaharah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi terambil dari kata   طَهَرَ-يَطْهُرُ-طُهْرًا-طَهَارَةًyang berarti suci.[1] Menurut pengertian bahasa thaharah berarti “suci/kesucian, atau “bersih/kebersihan”. Kata ini mengandung pengertian yang lebih luas, yaitu mencakup kebersihan atau kesucian dari segala kotoran bersifat fisik (material), seperti najis, kotoran, kencing, dan lain-lain, maupun yang bersifat spiritual, yaitu kebersihan dari aib dan kejahatan.[2]
Adapun definisi thaharah menurut Abbas Arfan adalah Suatu perbuatan yang menentukan boleh tidaknya suatu ibadah itu dilaksanakan (sah atau batal), walau dengan salah satu media thaharah (seperti tayammum) atau semata mencari tambahan pahala (seperti basuhan yang kedua atau ketiga dalam berwudhu.[3]
Imam An-Nawawi mendefinisikn thaharah yaitu keegiatan mengangkat hadas atau menghilangkan najis atau yang serupa dengan kedua kegiatan itu, dari segi bentuk atau maknanya. Definisi yang dibuat oleh ulama mazhab Maliki, Hambali dan Hanafi adalah sama yaitu mereka mengatakan bahwa thaharah adalah menghilangkan apa yang menghalangi shalat, yaitu hadas atau najis dengan menggunakan air ataupun menghilangkan hukumnya dengan tanah.[4] Menurut ulama Fiqh umumnya, Thaharah ialah :
رَفْعُ مَا يَمْنَعُ الصَّلاَةَ وَمَا فِيْمَا مَعْنَاهَا مِنْ حَدَاثٍ أَوْنَجَاسَةٍ بِاْلَماَءِ أَوْ رَفْعُ حُكْمِهِ بِاالتُّرَابِ

“Menghilangkan hadast atau najis yang menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadas dan najis) dengan tanah”[5]


2.      Dasar Hukum Thaharah
Thaharah hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Seseorang yang akan melakukan ibadah kepada Allah Swt, ia harus dalam keadaan suci dan bersih. Sebagaimana firman Allah Swt :[6]

1.      QS. Al-Baqarah : 222
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersih.”

2.      QS. Al-Taubah : 108
ÏmÏù ×A%y`Í šcq7Ïtä br& (#r㍣gsÜtGtƒ 4 ª!$#ur =Ïtä šúï̍Îdg©ÜßJø9$# ÇÊÉÑÈ
Artinya:“Di dalamnya (Masjid Quba) terdapat orang-orang yang membersihkan diri, dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”

Nabi Muhammad Saw bersabda :[7]
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ

“Sholat tidak akan diterima tanpa bersuci.”(HR. Muslim [488]).


مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُ
“Kunci sholat itu adalah suci.”(HR. Abu Daud [61]).

            Jadi, thaharah adalah suatu perbuatan untuk membersihkan diri khususnya dari kotoran material seperti hadas dan najis. Dengan adanya dalil Alquran dan sunnah diatas menunjukkan bahwa thaharah merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim khususnya sebelum melakukan ibadah kepada Allah Swt.

3.      Tata Cara Thaharah
Kebersihan secara hukum islam adalah wajib. Maka dari itu terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membersihkan diri dari  kotoran dan najis, diantaranya :[8]
1.      Istinja’
Secara etimologi istinja’ berasal dari kata annajwu yang artinya adalah benda yang keluar dari perut. Kata istinja’ berarti membasuh dengan air atau menyapu dengan batu. Secara terminologis istinja’ menghilangkan najis yang keluar dari qubul atau dubur baik dengan membasuh ataupun dengan menyapu atau menyeka. . dengan arti kata istinja’ diwajibkan setelah buang air kecil atau buang air besar.



Hadist Rasulullah SAW :
عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُم إِلَى الغَائِطِ فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلاَئَةِ أَحْجَارٍ فَإِنَّهَا تَجْزِئُ عَنْهُ. رواه أبوداود

“Dari Aisyah r.a bahwa Nabi SAW bersabda : Apabila salah seorang kamu pergi buang air besar, maka hendaklah dibaguskan (dihilangkan) dengan tiga batu. Sesungguhnya hal itu telah memadai.”(HR. Abu Dawud)[9]

Membasuh atau menyapu kedua tempat keluar najis (qubul dan dubur) tidak ada ketentuan jumlahnya yang menjadi tujuan adalah tercapainya kebersihan. Hal ini dapat tercapai dengan satu, dua atau tiga kali, kalau perlu lebih dari itu. Hukum istinja’ menurut para fuqaha adalah makruh tahrim bila dilakukan dengan tulang dan tahi binatang sebagaimana sabda Nabi SAW :
عن جابر ابن عبدالله نهى النبي صلى الله عليه وسلم أَنْ يَتَمَسَّحَ بِعُظْمٍ أَوْ بِعُرَّةٍ. رواه أحمد و مسلم و أبو داود

Artinya : “Dari Jabir bin Abd Allah, Nabi SAW melarang seseorang mengusap (istinja’) dengan tulang dan tahi binatang.(HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)

Demikian juga hukumnya beristinja’ dengan batu bata, tembikar, kaca, makanan manusia dan semua benda-benda yang bermanfaat. Adapun rukun-rukun istinja’ yaitu :
a.       Mustanjin (orang yang beristinja’)
b.      Mustanji bih yaitu alat untuk beristinja’
c.       Mustanji minhu yaitu najis yang keluar dari dua jalan
d.      Qubul atau Dubur yang akan dibasuh[10]

Cara melakukan istinja’ yaitu hendaklah sseorang menuangkan air ke atas kanan kirinya sebelum dia menyentuh najis, kemudian dia membasuh qubulnya, yaitu saluran air kencing, dan membasuh seluruh zakarnya apabila keluar air madzi. Kemudian barulah membasuh dubur diikuti dengan mencurahkan air, dan menggosok dengan tangan kiri. Hendaklah ia membungkukkan badan sedikit kemudian menggosok (dubur) dengan cermat sehingga menjadi bersih. Tidak dianjurkan menggunakan tangan kanan.[11]

2.      Menggunakan Air
Air merupakan alat pembersih utama yang telah disediakan oleh Allah SWT untuk manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
¨,ÅsãŠÏ9 ¨,ysø9$# Ÿ@ÏÜö7ãƒur Ÿ@ÏÜ»t7ø9$# öqs9ur on̍x. šcqãB̍ôfßJø9$# ÇÑÈ

Artinya : “ Allah menurunkan air dari langit agar dapat digunakan untuk membersihkan

Air digunakan sebagai sarana untuk membersihkan diri dari kotoran dan najis seperti dalam berwudhu dan mandi. Namun dalam makalah ini, penulis hanya  terfokus untuk membahas tentang wudhu’.

Macam-macam air
Air dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
a.       Air bersih dan dapat digunakan untk membersihkan, atau disebut juga air mutlak. Contohnya seperti air hujan, air sungai, air laut, air mata air, air sumur air es, dan segala air yang bersih dari kotoran. Syarat penggunaan air tersebut apabila tidak berubah warna, aroma/bau dan rasanya.
b.      Air bersih tetapi tidak dapat digunakan untuk membersihkan. Air ini terbagi atas :
1)      Air yang bercampur dengan sesuatu yang bersih yang dapat mengubah salah satu sifat air.
2)      Air yang telah digunakan (air musta’mal) dan ukurannya kurang ( dari 270 liter / 2 kullah).
3)      Air tumbuh-tumbuhan yang berasal dari bunga atau buah.
c.       Air yang Terkena Najis
Ialah air yang terkena najis yang tidak dimaafkan. Terdapat dua jenis air yaitu air yang bersih terkena najis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya dan air yang bersih terkena najis, namun berubah sifat-sifatnya. [12]

3.      Tanah
Ialah suatu zat yang dijadikan alat untuk membersihkan diri dari kotoran dalam bentuk tayammum. Tanah yang suci dapat dijadikan pengganti ketika tidak ada air, atau tidak dapat menggunakan air dengan alasan syar’i.
Tayammum  adalah salah satu cara menghilangkan kotoran dan najis dengan menyentuhkan dua telapak tangan ke tanah atau debu untuk menyapu muka dan dua tangan.[13]
Adapun cara melakukan tayammum  ialah :
a)      Menurut Ulama Hanafi dan Syafi’i
Tayammum dilakukan dengan dua kali tepukan telapak tangan dengan debu. Satu tepukan untuk mengusap muka, dan satu tepukan lagi untuk mengusap kedua tangan hingga kesiku. Hal ini berdasarkan hadist :
التَّيَّمَّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum adalah dengan dua kali tepukan ke debu. Satu tepukan untuk mengusap muka dan satu tepukan untuk mengusap kedua tangan hingga siku”.[14]

b)      Menurut Ulama Maliki dan Hambali
Tayammum dilakukan dengan kewajiban satu tepukan ketanah, untuk kemudian diusapkan ke muka dengan bagian dalam jari tanganya, kedua tangan diusap dengan menggunakan telapak tangan.[15]

4.      Hal-Hal yang Menyebabkan Thaharah
Adapun yang menyebabkan seseorang wajib melakukan thaharah ialah sebagai berikut :
1.      Terkena Najis
Najis ( نَجِسٌ  ) secara bahasa artinya “kotor”. Najis diartikan segala sesuatu yang dianggap kotor oleh syara’ (hukum islam). Najis dibagi menjadi dua yaitu najis haqiqi dan najis hukmi.
a.       Najis Haqiqi
Adalah ‘ain atau zat benda yang najis dan pembersihannya dilakukan dengan air bersih. Najis ini terbagi kedalam beberapa bagian :


1)      Najis Mughalazzah (Berat)
Adalah suatu materi yang kenajisann ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’i), seperti anjing dan babi. Cara menghilangkannya dengan mencuci sebanyak tujuh kali, satu diantaranya dengan tanah.
2)      Najis Mutawashitah (Sedang)
Diantaranya adalah kotoran manusia, kencing, dan kotoran  hewan. Cukup dibersihkan dengan air.
3)      Najis Mukhaffafah (Ringan)
Ialah najis-najis yang ringan, diantaranya ialah kencing bayi yang masih meminum Air Susu Ibu tanpa makanan lain. Cara membersihkannya dengan memercikkan air ke bagian yang terkena kencing.

b.      Najis Hukmi
Artinya secara hukum yaitu keadaan seseorang dianggap bernajis sehingga wajib dibersihkan. Dengan kata lain, ada sesuatu unsur lain yang melekat pada dirinya, hingga keadaan tersebut yang dianggap bernajis, dan tidak dibenarkan shalat sebelum membersihkannya. Contoh, junub dan haid dianggap keadaan yang bernajis hukmi.[16]
2.      Keadaan Berhadas
Hadas adalah keadaan yang menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah. Hadas terdiri dari dua macam, yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil adalah suatu keadaan seseorang yang dapat disucikan dengan wudhu dan tayammum. Orang yang tidak berwudhu disebut orang yang berhadas. Sedangkan hadas besar adalah suatu keadaan seseorang yang harus disucikan dengan mandi atau tayammum, seperti orang yang sedang junub dan wanita yang sedang haid.[17]


untuk materi berikutnya,,, tunggu ajah ya,,,
semoga bermanfaat di jalan allah ,,amin

[1] Rahman Ritonga,  dan  Zainuddin,  Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), Cet. Ke-2 hlm.17
[2] Ibid,hal 17 
[3] Abbas Arfan, Fiqh Ibadah Praktis, (Malang : UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 8
[4] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010), hal. 203
[5] Abu Jayb, Sa’dy, dalam buku A. Rahmat Ritonga, ibid 
[6] Ahmad Thib Raya, op cit,  hlm. 121-122
[7] Abbas Arfan,  op cit  hal. 8
[8] Ahmad Ritongga, ibid, hal. 28-29
[9] Al-Kahlani dalam buku Rahmat Ritonga, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), hal. 27
[10] Musa Kamil, Ahkam Al-Ibadat, (Dar Al-Fikr, 1991M/1411 H)
[11] Al Qawanin al-fiqhiyyah dalam buku Wahbah Zuhaili, fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani, 2010), hal. 290
[12] Ahmad Thib Raya, ibid, hal. 130
[13] Ibid, hal.152
[14] Wahbah Zuhaili, ibid, hal. 494
[15] ibid
[16]  Hasan Ayub, ibid, hal. 49
[17]  Ahmad  Ritonga, Ibid  hal. 7-8 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar