Jumat, 10 Oktober 2014

fiqh tentang puasa


kali ini saya akan berbagi pengetahuan tentang shalat,, dibawah ini ada makalah kita,, maksudnya teman-teman aku yang berhasil menjadi makalh terbaik based penilaian dosen,, kamu boleh copy and learn ya,, moggo',,,

A.  PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM WAJIB PUASA.
1.    Pengertian Puasa
Secara etimologi (bahasa), puasa dalam Bahasa Arab berasal dari kata يَصُوْ مُ - صَوْ مًا- صِيَا مًا- صَا مartinya: menahan, mengekang, diam, berhenti, atau menahan diri dari sesuatu, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan[1]. Adapun definisi puasa menurut terminologi fiqh adalah: “Menahan diri dari makan dan minum serta hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.[2]
Puasa adalah ibadah menahan makan dan minum serta hal-hal yang dapat membatalkannya. Puasa telah dilakukan oleh umat manusia terdahulu. Ketika Islam datang, puasa pun menjadi salah satu ibadah yang disyariatkan bagi umatnya. Islam memiliki tuntutan khusus untuk ibadah puasa.[3]
Puasa yang paling sering didengar dan wajib dilaksanakan oleh umat Islam adalah puasa Ramadhan, yaitu puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan yakni bulan yang dianggap penuh berkah dan dianggap suci dari bulan-bulan sebelumnya. Puasa merupakan salah satu pilar dari rukun Islam yang ke-tiga dari lima rukun Islam.
Defenisi shaum Ramadhan (puasa Ramadhan) adalah tersusun dari dua kata: shaum dan Ramadhan. Puasa secara bahasa diartikan menahan secara mutlak, baik dari makan dan minum, bersetubuh, ataupun yang lainnya. Jadi, orang yang meninggalkan makan, minum, dan bersetubuh dapat dikatakan berpusa sebab ia menahan diri darinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an surah Maryam (19): 26
Í?ä3sù Î1uŽõ°$#ur Ìhs%ur $YZøŠtã ( $¨BÎ*sù ¨ûÉïts? z`ÏB ÎŽ|³u;ø9$# #Ytnr& þÍ<qà)sù ÎoTÎ) ßN
öxtR Ç`»uH÷q§=Ï9 $YBöq|¹ ô`n=sù zNÏk=Ÿ2é& uQöquø9$# $|Å¡SÎ) ÇËÏÈ
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".(Q.S Maryam: 26)
Kata yang kedua adalah Ramadhan. Kata ini berasal dari kata Ar-ramadh yaitu batu yang panas teriknya matahari. Ibnu Manzhur mengatakan: “Ramadhan adalah salah satu nama bulan yang telah dikenal.”
Sedangkan pengertian puasa menurut istilah ulama fiqh adalah menahan diri dari segala yang membatalkan sehari penuh mulai dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari dengan syarat-syarat tertentu.
Pengertian ini disepakati oleh kalangan Hanafi dan Hanbali. Namun, kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i menambahkan kata “niat” pada akhir rumusan pengertian diatas. Sedangkan menurut kalangan mazhab Hanafi dan Hanbali niat tidak termasuk rukun puasa, melainkan syarat sah puasa sehingga ia tidak menjadi bagian dari pengertian puasa. Meskipun demikian, barang siapa yang puasa tanpa niat maka puasanya menurut kesepakatan ulama fiqh tidak sah.[4]
Puasa dalam syariat Islam ada dua macam, yaitu puasa wajib dan puasa sunat. Puasa wajib ada tiga macam, puasa yang terikat dengan waktu, yaitu puasa ramadhan selama sebulan. Puasa yang wajib karena ada illat, seperti puasa sebagai kafarah. Dan puasa seseorang yang mewajibkan pada dirinya sendiri, yaitu puasa nazar[5].
Sedangkan selain puasa wajib ada namanya puasa sunat, yang sangat dianjurkan oleh nabi saw, seperti puasa arafah, puasa senin kamis, puasa enam hari pada bulan syawal, puasa as-syura.

2.    Dasar Hukum Wajib Puasa
Legalitas syara’ puasa Ramadhan berlandaskan pada Al-qur’an, sunnah, dan ijma’.
Dalil dari Al-qur’an adalah firman Allah dalm surah Al-Baqarah (2): 183.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$#
 `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

Orang yang merenungkan ayat tersebut akan menemukan fakta bahwa Allah telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan dan diiringi dengan hikmahnya serta ajakan untuk melaksanakan perintahnya-Nya. Perhatikan untuk seruan jauh dan makna yang dikandungnya, yaitu ketinggian derajat orang-orang beriman. Selanjutnya perhatikan firman Allah “agar kamu bertaqwa” dan hikmah-hikmah puasa yang terkandung didalamnya.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika Allah mewajibkan puasa kepada orang-orang beriman, bukanlah untuk yang pertama kalinya dalam sejarah agama-agama dan bukan pula syariat yang baru, melainkan Dia telah mewajibkannya terhadap umat sebelumnya aeperti ahli kitab, umat agama-agama sebelumnya. Demikianlah Allah meringankan dan memudahkan syariat puasa ini terhadap jiwa orang yang beriman. Sesungguhnya manusia itu jika ia tahu bahwa ia tidak dibebankan dengan sesuatu yang baru, melainkan yang telah berlaku sejak dahulu dan dilaksanakan oleh umat sebelumnya maka sesuatu itu akan menjadi ringan baginya dan termotivasi untuk melaksanakannya.
Selanjutnya,  Allah menyebutkan dalam ayat tersebut bahwa puasa bukanlah suatu ujian dan kesulitan, melainkan suatu latihan (riyadhah) dan pendidikan, perbaikan, pembersihan, dan pembinaan akhlak. Sehingga ia lulus dari latihan itu sebagai orang yang memiliki keutamaan dan kesempurnaan, mampu mengendalikan hawa nafsunya. Hal itu karena orang yang berpuasa telah mampu berpaling dari segala sesuatu yang mubah, maka ia tentu lebih mampu meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan. Orang yang terbiasa meninggalkan makanan dan minuman yang halal dan nikmat karena menjalankan perintah Allah, bagaimana mungkin mau mendekati makanan dan minuman serta jalan hidup yang diharamkan, najis, keji dan dimurkai oleh Allah? Oleh karena itu, Allah berfirman: “Agar kamu bertaqwa
Adapun dalil dari sunnah yang menjelaskan kewajiban puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:
1.    Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin khathtab, ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda:

بُنِيَ ا لْإِ سْلاَ مُ عَلَ خَمْسٍ شَهَا دَ ةِ أَ نْ لاَ إِ لَهَ إِ لآَّ ا للَّهُ وَ أَ نَّ مُحَمَّدً ا رَ سُو لُ ا للَّهِ وَ إِ قَا مِ ا لصَّلاَ ةِ وَ إِ يَتَا ءِ ا لزَّ كاَ ةِ وَ ا لْحَجِّ وَ صَوْ مِ رَ مَضَا نَ

“Islam dibangun diatas lima pilar: kesaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah, melaksanakan shalat, puasa Ramadhan, menunaikan zakat, dan haji.”

Hadits diatas menunjukkan wajibnya puasa Ramadhan secara jelas dan tegas, tidak ada keraguan dan kekaburan maknanya. Imam An-Nawawi menerangkan makna hadis ini bahwa “barang siapa yang telah melaksanakan lima rukun Islam ini, berarti Islamnya telah sempurna.” Sebagaimana rumah dapat berdiri tegak sempurna dengan terpenuhi tiang-tiangnya, begitu pula Islam dapt berdiri tegak dan kokoh dengan terpenuhi rukun-rukunnya.
2.    Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Ibnu Umar ia berkata: aku pernah mendengan rasulullah bersabda:
إِ ذَا رَ أَ يْتُمُو هُ فَصُو مُوا وَ إ ذَ ا رَ أَ يْتُمُو هُ فَأَ فْطِرُ وَ ا فَإِ نْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَا قْدُ رُ و ا لَهُ.
“Jika kalian melihatnya (Hilal), laka puasalah, dan jika kalin melihatnya maka ber-Idul Fitrilah. Jika ia tertutup

dari (pandangan) kalian (oleh mendung) maka kira-kiralah atau hitunglah.[6]



B.  SYARAT-SYARAT WAJIB DAN RUKUN PUASA
1.    Syarat-Syarat Puasa
a.    Syarat-syarat wajib puasa
Syarat-syarat wajib puasa dalam mazhab syafi’i ada lima, yaitu:
1)   Islam, seseorang tersebut harus beragama Islam jika ia hendak melakukan puasa.
2)   Mukallaf (dewasa dan berakal sehat)
3)   Iithaqah (mampu/ kuat)
4)   Sehat
5)   Iqamah (bukan musafir).
b.    Syarat sah puasa
Syarat-syarat sahnya puasa dalam mazhab syafi’i ada empat, yaitu:
1)   Islam
2)   Berakal sehat
3)   Suci dari haid atau nifas
4)   Mengetahui bahwa sudah wajib atau sunnah berpuasa pada saat itu (tahu sudah masuk waktu berpuasa).[7]
2.    Rukun puasa
Rukun puasa ada tiga yang menjadi komponen pembentuk hakikatnya, yaitu sebagai berikut:
1)   Niat, niat yaitu tekad bulat hati untuk berpuasa sebagai aktualisasi pelaksanaan perintah Allah dan pendekatan diri kepada-Nya.
2)   Mencegah diri dari segala yang membatalkan mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Rukun ini telah disepakati bulat oleh para imam, termasuk kalangan ulama mazhab Syiah Ja’fariyyah, berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2):187
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn «!$# Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ムª!$# ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ ÇÊÑÐÈ    
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf”.(Al-baqarah: 187)
3)   Pelaku puasa (ash-sha’im), yaitu orang yang sah berpuasa, dalam artian telah memenuhi syarat-syarat wajib puasa, antara lain Islam, akil baligh, mampu berpuasa, dan bebas dari halangan syara’ seperti haid dan nifas bagi kaum perempuan.[8]

C.  HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Berikut ini beberapa hal yang dapat membatalkan puasa diantaranya sebagai berikut:
1.    Memasukkan suatu benda dari luar tubuh kedalam tubuh secara sengaja, baik berupa makan maupun bukan makana. Misalnya, asap rokok, melalui bagian tubuh yang berlubang, antara lain lewat hidung.
2.    Muntah dengan sengaja, orang yang sedang berpuasa ingin dan berusaha memuntahkan isi perutnya, lalu ia muntah dengan sengaja maka ia wajib mengqadha puasanya. Jika ia muntah tanpa sengaja dan tanpa upaya, melainkan terdorong keluar dengan sendirinya tanpa keinginannya maka hal itu tidak merusak puasanya.
3.    Haid dan nifas, jika seseorang wanita mengalami haid atau nifas (persalinan) disiang hari bulan Ramadhan, lalu ia terus melanjutkan puasa dan tidak membatlkannya maka puasanya tidak sah.
4.    Itimna’ , yaitu keluarnya sperma akibat hubungan seksual meskipun dalam bentuk perzinahan.
5.    Gila dan pingsan, barang siapa yang berniat pusa, lalu ia mendadak gila atau tidak sadarkan diri sepanjang siang dan tidak kunjung sadar pada sebagiannya maka puasanya tidak sah.
6.    Murtad, yaitu keluar dari Islam dengan pernyataan, perbuatan, atau kayakinan.
7.    Jika orang puasa makan, minum, atau senggama dengan anggapan hari masih malam, namun ternyata hari sudah siang (sudah masuk waktu fajar) maka menurut jumhur ulama, termasuk empat imam mazhab, ia wajib mengqadha.
8.    Memutuskan niat, meskipun tidak makan dan minum. Barang siapa berniat buka puasa, namun tidak juga berbuka (makan dan minum), sementara ia berpandangan bahwa memutus niat tidak membatalkan puasa, maka puasanya tidak batal. Namun, jika ia melakukan hal tersebut tanpa interpretasi demikian, maka puasanya batal.[9]

D.  KETENTUAN-KETENTUAN YANG MEWAJIBKAN QADHA, DAN FIDYH SERTA KAFFARAH.
1.    ketentuan Qadha’ puasa Ramadhan
Mengqadha’ puasa ramadhan tidak wajib dilakukan dengan segera. Mengqadha’ puasa Ramadhan memang diwajibkan ,ia juga memiliki kelapangan waktu sesuai dengan kondisi seseorang. Demikian halnya dengan membayar kafarat.
Dalam sebuah hadits sahih yang bersumber dari Aisyah, bahwasanya dia pernah mengqadha’ puasa Ramadhan yang pernah ditinggalkan. Dia mengqadha’nya di bulan Sya’ban dan tidak mengqadha’nya dengan segera, padahal dia bisa melakukannya.
Mengqadha’ sama halnya dengan mengerjakan ibadah secara langsung sesuai dengan waktuya. Dengan kata lain, orang yang meninggalkan puasa beberapa hari, hendaknya menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkan itu, tanpa ada tambahan yang lain. Yang menjadi perbedaan antara qadha’ dengan pelaksanaan langsung adalah bahwa qadha’ tidak perlu dilakukan dengan segera, hal ini berdasarkan firman Allah swt.

$YB$­ƒr& ;NºyŠrß÷è¨B 4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr&
tyzé& 4 n?tãur šúïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜム×ptƒôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB ( `yJsù tí§qsÜs? #ZŽöyz
 uqßgsù ׎öyz ¼ã&©! 4 br&ur (#qãBqÝÁs? ׎öyz öNà6©9 ( bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ  
“ (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan” (Al-Baqarah [2]: 184)

Dengan kata lain, orang sakit atau bepergian lalu berbuka, hendaknya berpuasa sebanyak hari yang telah ditinggalkan. Hal ini boleh dilakukan secara berturut-turut ataupun tidak. Dalam hal ini, Allah memberi kebebasan dan tidak memberi ketentuan secara berurutan.

Daraquthni meriwayatkan dari Ibnu Umar ra., bahwasanya Rasulullah bersabda mengenai cara mengqadha’ puasa Ramadhan,
إنْ شَاءَ فَرَّ قَ, وَإِنْ شَاءَ تَا بَعَ
“ Jika mau, dia boleh melakukannya secara terpisah. Dan jika mau, dia boleh melakukannya secara berurutan.”

Jika seseorang menagguhkan dalam mengqadha’ sampai bulan Ramadhan yang erikutnya tiba, hendaknya dia puasa untuk bulan Ramadhan yang baru tiba dan setelah itu, hendaknya dia mengqadha’ puasa yang ditinggalkan pada tahun sebelumnya dan tidak diwajibkan membayar fidyah, baik penangguhan tersebut disebabkan adanya halangan ataupun tidak. Pendapat ini dikemukakan dalam mazhab Hasan al-Bashri dan mazhab Hanafi.
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq setuju dengan mazhab Hanafi bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah jika penangguhan tersebut disebabkan adanya halangan. Tapi, mereka berbeda pendapat denga mazhab Hanafi, jika penangguhan tersebut dilakukan bukan karena adanya halangan. Menurut mereka, hendaknya orang yang mengqadha’ puasa padaa bulan Ramadhan yang sedang dijalani , kemudian mengqadha’ puasa yang ditinggalkan pada tahun sebelumnya disertai membayar fidyah, yaitu dengan memberi makan kepada orang miskin sebanyak satu mud setiap hari sebanyak jumlah puasa yang ditinggalkan. Meskipun demikian, mereka tidak mengemukakan dalil yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu, menurut pendapat mazhab Hanafi, dan pendapat ini termasuk pendapat paling kuat, tidak ada kewajiaban dalam syariat yang harus dilakukan tanpa berlandaskan pada dalil yang sahih.[10] 
Qadha' adalah berpuasa dihari lain di luar Ramadhan sebagai pengganti dari puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan.Yang wajib mengqadha' (mengganti ) puasa di hari lain adalah :
a.    Seseorang yang lupa niat dimalam hari.
b.    Wanita yang mengalami haid dan nifas.
c.    Orang sakit yang masih ada harapan untuk disembuhkan.
d.   Wanita hamil dan menyusui.
e.    Orang yang bepergian ( Musafir ).
2.    Orang yang membatalkan puasa akibat disengaja seperti muntah.
Orang yang membatalkan puasa akibat disengaja dia salah satunya dia harus membayar fidyah. Fidyah adalah memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Orang yang dibenarkan membayar fidyah adalah:
a.    Orang sakit yang menurut dokter ahli sulit untuk disembuhkan.
b.    Orang tua yang lemah dan tidak mampu lagi berpuasa.
c.    Wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir kesehatan  bayinya apabila dia berpuasa.
d.   Orang yang meninggalkan kewajiban mengqadha' puasa Ramadhan tanpa udzur syar'i hingga Ramadhan tahun berikutnya, maka dia wajib meng-qadha' puasanya sekaligus membayar fidyah.
3.    Seseorang yang meninggal dunia dan masih mempunyai tanggungan puasa
Apabila seseorang meninggal dunia, sedangkan dia masih mempunyai tanggungan untuk mengqadha’ shalat yang pernah ditinggalkan, menurut ijma’ ulama, tidak seorang pun dibolehkan mengqadha’kan shalat yang ditinggalkannya, baik wali (orang yang masih memiliki hubungan darah) maupun orang lain. Demikian pula, seseorang yang tidak mampu berpuasa, tidak seorang pun yang dibolehkan menggantikan puasanya jika dia masih hidup. Tapi, jika dia sudah meninggal dunia, sedangkan dia masih mempunyai tanggungan untuk menqadha’ puasa yang pernah ditinggalkan, dan sebelum kematiannya dia tidak mampu untuk puasa, dalam hal ini, para ulama berselisih pendapat mengenai hukumnya. Menurut mayoritas ulama, diantaranya Abu hanifah, Malik, dan Syafi’i dan ini termasuk pendapat yang masyhur, keluarganya tidak dibolehkan menggantikan puasa, namun dia diharuskan memberikan satu mud makanan untuk setiap hari, sebanyak hari yang ditinggalkan.
Pendapat yang kuat menurut mazhab Syafi’i, keluarganya dianjurkan menggantikan puasa seseorang yang meninggal dunia supaya si orang yang sudah meninggal dunia terbebas dari kewajiban. Dan keluarganya tidak perlu membayar fidyah dengan memberikan makanan (kepada fakir miskin). Masuk dalam kategori wali adalah sanak kerabat, baik kedudukannya sebagai ashabah (ahli waris utama, seperti anak) atau ahli waris biasa atau yang lainnya.
Seandainya ada orang lain yang bersedia menggantikan puasanya, maka apa yang dilakukannya sah jika mendapat persetujuan dari keluarganya. Jika tidak, maka puasanya tidak sah. Para ulama berpedoman pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan Muslim dari Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda,
مَنْ مَا تَ, وَعَلَيْهِ صِيَا مٌ, صَا مَ عَنْهُ وَلِيُّهُ.

“Siapa yang meninggal dunia sedangkan dia masih mempunyai kewajiban puasa, hendaknya wali (keluarga)nya menggantikan puasanya.

Imam Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki menemui Rasulullah lalu bertanya, wahai Rasulullah, ibuku sudah meninggal dunia, padahal dia masih mempunyai kewajiban untuk membayar puasa selama satu bulan, apakah aku diperbolehkan untuk menggantikannya? Beliau bersabda, “ seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah engkau juga membayar hutangnya?” Dia menjawab , iya. Rasulullah saw. Lantas bersabda,
فَدَ يْنَ اللّه أَ حَقُّ أَنْ يُقْضَئ

“Maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”

Imam Nawawi berkata, “pendapat inilah yang benar dan terkuat yang juga menjadi pegangan para ulama fikih. Pendapat ini diakui sebagai pendapat yang paling kuat.[11]
4.    Beberapa hal yang membatalkan puasa dan mewajibkan qadha dan kaffarah adalah:
a.    Berhubungan badan
Orang yang menyetubuhi orang lain yang masih hidup dan diinginkan biak dikemaluan atau didubur dan dilakukan pada saat puasa Ramadhan, ia wajib mengqadha dan membayar kaffarah meski tidak sampai mengeluarkan air sperma. Hukuman tersebut berlaku untuk pelakunya dan objeknya. Sementara Syafi’i menyatakan kaffarah hanya untuk pelakunya saja.
b.    Memakan sesuatu yang membatalkan puasa dengan sengaja
Semua fuqaha, sebagaimana telah kita ketahui, sepakat bahwa hubungan badan disiang hari pada bulan Ramadhan ada qadha dan kaffarahnya. Sedangkan mereka berbeda pendapat tentang selain hubungan badan yang termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Sebab perbedaan pendapat mereka adalah beberapa tentang putusan kaffarah sebagaimana berkenan dengan hubungan badan dan ada yang hanya berkenaan dengan orang yang tidak berpuasa. Karena itu, fuqaha Ahnaf menyatakan bahwa semua yang ditelan oleh orang yang berpuasa yang berguna bagi badan misalnya makanan, minuman, obat atau sesuatu yang disenangi seperti rokok, narkotika, ganja, menelan air liur istri untuk kenikmatan atau untuk menuntaskan nafsu seperti berhubungan badan wajib diqadha dan membayar kaffarah. Hal serupa juga dikemukakan oleh fuqaha Malikiyah.
Adapun Syafi’i, Ahmad dan Dawud ahli zahir membatasi kaffarah hanya untuk hubungan badan saja dengan syarat-syarat sebelumnya.
c.    Mengonsumsi benda-benda yang membatalkan puasa   sementara yang bersangkutan mengira hal itu boleh.
Fuqaha Ahnaf dan Malikiyah (berdasarkan kaidah mereka) berpendapat, siapapun yang mengonsumsi benda-benda yang membatalkan puasa seperti yang disebutkan sebelumnya secara sengaja dan mengira bahwa hal itu boleh karena suatu sebab, ulama sepakat hal tersebut tidak membatalkan puasa hanya saja yang bersangkutan wajib mengqaadha dan membayar kaffarah seperti seseorang berdusta, melakukan ghibah atau meminyaki kumisnya dan dikira hal itu membatalkan puasa kemudian ia makan dan minum karena sengaja menakwilkan secara jauh.
Beberapa hal yang menggugurkan kaffarah, yang pertama adalah munculnya sesuatu yang membolehkan untuk tidak puasa pada hari yang sama seperti haid, nifas, sakit, gila dan bepergian. Kedua adalah adanya syubhat yang menggugurkan dan membatalkan kaffarah seperti sengaja menakwilkan secara dekat[12]


 ETIKA BERPUASA
Ketika berpuasa, seseorang dianjurkan memperhatikan sekaligus memperhatikan etika sebagai berikut:
1.    Berniat puasa pada malam hari. Niat dalam menjalankan ibadah adalah hal penting yang sangat menentukan kualitas dan nilai ibadah seseorang.
2.    Ikhlas dalam menjalankan puasa.
3.    Makan sahur malam harinya. Karena makan sahur merupakan syi’ar puasa, terlebih lagi pada bulan Ramadhan.
4.    Mengakhirkan makan sahur.
5.    Menyegerakan Berbuka, dianjurkan bagi orang berpuasa untuk menyegerakan berbuka, apabila matahari sudah terbenam.
6.    Tidak berlebihan dalam makan sahur dan berbuku puasa.
7.    Mengawali berbuka dengan kurma atau Air putih.
8.    Berdo’a sesaat sebelum dan sesudah berbuka.
9.    Perbanyak amal kebajikan selama berpuasa.
10    Jauhi perbuatan maksiat dan dosa.
11    Hindari berkumur secaara berlebihan.
12    Menyempurnakan puasa jika terlupa makan dan minum.
13    Menghindari makan dan minum didepan orang sedang berpuasa.
14    Larangan berpuasa dihari jum’at.[15]
G. HIKMAH PUASA
Hikmah puasa yang dapat dirasakan oleh orang yang melaksanakan adalah:
1). Puasa membiasakan manusia agar takut terhadap Allah baik secara rahasia maupun terang-terangan.
2). Puasa menundukkan keganasan hawa nafsu dan menjadikan diri mampu menguasainya sesuai syariat.
3). Puasa membiasakan empati dan kasih sayang terhadap kaum fakir miskin dan segera memberikan bantuan. Ia memperbaiki dirinya dengan amal shaleh. Dengan puasa ia merasakan lapar dan haus.
4). Puasa menghilangkan zat-zat merugikan yang mengendap dalam tubuh, terutama dalam tubuh orang-orang yang terbiasa hidup mewah karena mereka kurang aktivitas.
5). Sebagian ilmuan Eropa mengatakan, puasa satu bulan penuh dalam setahun dapat menghilangkan sisa-sisa zat makanan yang tidak berguna yang menggumpal dalam tubuh selama satu tahun.
6). Puasa melatih kesabaran, dan kesabaran merupakan jalan menuju takwa.[16]

 nah,, demikian pembahasan nya teman,, kalo untuk menyimpulkan,, kamu pasti bisa deh,, semoga bermanfaat ya




[1] Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Hal. 482 Dalam Buku Winarno2013.
[2] Abbas Arfan, Fiqh Ibadah Praktis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 125.
[3]Ahmad Zakky, Ensiklopedi For Moslem Kids, (Jakarta: zikrul kids, 2011), 78.
[4] Arfan, Fiqh. ..,  hal. 433-434
[5] Ibnu Rusyd, budiyatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 634
[6]Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, (Jakarta: AMZAH, 2010), hal 438.
[7] Arfan, fiqh. ..,  hal. 128.
[8] Azzam dan Hawwas, Fiqh. .., hal. 459.
[9] Azzam dan Hawwas, Fiqh. .., hal. 463-470.
[10] Sabiq, Fikih. .., hal. 278-279
[11]Sabiq, Sunnah. .., hal. 280-281
[12] Hasan Ayub, Fikih Ibadah, ( Jakarta:Cakra Lintas Media,2010) Hal. 440

[13] Sabiq, Fikih. ..,  hal.  244-251
[14] Sulaiman Rajid, Fiqh Islam, (Bandung: sinar baru Algensindo, 2012) hal. 220
[15] Samsul Munir Amin Dan Haryanto Al-Fandi, Etika Beribadah, (Jakarta: AMZAH, Sinar Grafika Offset) Hal 145-161.
                [15] Azzam dan Hawwas, Fiqh. .., hal 440-444


Tidak ada komentar:

Posting Komentar