Selasa, 30 September 2014

makalah qishsash, hudud dan diyat


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Hudud, Qishash, dan Diyat
1.      Pengertian Hudud
Kata hudud merupakan bentuk plural dari kata hadd yang berarti sesuatu yang memisahkan antara dua hal. Juga dapat diartikan sesuatu yang membedakan antara yang satu dan yang lain. Masuk dalam arti hudud adalah dinding rumah atau batasan-batasan tanah.[1]
Hudud (hukuman) adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, kaena Islam itu sebagai rahmatan lil ‘alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.[2]
Hudud secara bahasa, adalah bentuk jama’ dari bahasa Arab “hadd” yang berarti pencegahan, penekanan, atau larangan. Jadi dengan demikian secara istilah jarimah hudud dapat diartikan suatu jarimah yang diancam dengan hukuman hadd. Pengertian hukuman hadd, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu hukuman hadd adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah SWT. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarima hudud itu adalah sebagai berikut:
a.       Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman itu telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas maksimal atau minimal.
b.      Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang paling dominan.
c.       Had itu merupakan hak Allah maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara.[3]
Secara bahasa, hudud memiliki kesamaan makna dengan al-Man’u yang berarti pencegahan. Hukuman atas suatu pelanggaran disebut dengan hudud, karena hukuman tersebut bertujuan untuk mencegah orang yang melakukan pelanggaran tidak mengulangi perbuatan yang menyebabkan dirinya dihukum. Hudud juga bisa diartikan dengan pelanggaran itu sendiri, sebagaimana dalam firman Allah SWT QS. Al Baqarah:187

Artinya:” ...Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya...”
Ditinjau dari sisi syara’, hudud artinya ketetapan atas suatu hukuman untuk menjaga hak Allah SWT. Oleh sebab itu, hukum ta’zir tidak termasuk kedalam pengertian ini, karena hukum ta’zir merupakan suatu hukuman yang tidak diketahui ketetapannya karena ketetapannya ditentukan oleh pemimpin. Qishash juga tidak termasuk kedalam pengertian ini, karena hukum Qishash berdasarkan kepada hak sesama manusia atau hak seluruh anak cucu Adam.[4]

2.      Pengertian Qishash
Kata Qisash berasal dari bahasa Arab “Qashsha” berarti memotong, atau mengikuti jejak buruannya. Dengan arti ini maka kata “Qashsha” bermakna hukum balas dengan hukuman yang setimpal bagi pembunuhan yang dilakukan, yaitu nyawanya sendiri harus dicabut seperti dia mencabut nyawa korbannya, kendatipun tidak harus dibunuh dengan senjata yang sama dengan senjata dia membunuh korbannya. Abdul Qadir Audah mendefenisikan Qishash sebagai keseimbangan atau pemabalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan sesuatu yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya. Sementara menurut Sri Yunarti makna Qishash itu sendiri adalah hukuman bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja. Hukuman Qishash tidak dikenakan pada pelaku pembunuhan, kecuali terpenuhinya persyaratan dibawah ini:
a.       Korban adalah orang yang haram dibunuh, artinya ia terlindungi darahnya. Orang yang tidak terlindungai darahnya menurut Islam adalah pezina, muhsan, orang murtad, kafir harbi, dan lain-lain.
b.      Pelaku pembunuhan adalah orang yang mukallaf, akil baliqh, tidak hilang ingatan (gila), sebab itu mereka itu dikenai pembebanan (taklif).
c.       Pelaku pembunuhan mempunyai hak pilih untuk melakukan atau meninggalkan, artinya ia melakukan perbuatan tersebut tanpa tekanan, tanpa paksaan yang berat yang menyebabkan hilangnya hak pilih tadi.
d.      Pelaku pembunuhan bukan orang tua korban, ayah, atau datuknya.[5]
Qishash dalam arti bahasa adalah تَتَّبَعَ الأَثَرَ , artinya menelusuri jejak. Pengertian tersebut digunakan untuk arti hukuman, karena orang yang berhak atas Qishash mengikuti dan menelusuri jejak tindak pidana dari pelaku. Qishash juga diartikan: المُمَاثَلَةُ, yaitu keseimbangan dan kesepadanan. Menurut istilah syara’, Qishash adalah مُجَا زَاةُالْجَا نِىِ بِمِثْلِ فِعْلِهِ yang artinya memberikan balasan kepada pelaku, sesuai dengan perbuatannya. Dalam redaksi yang berbeda, Ibrahim Unais memberikan defenisi Qishash sebagai berikut:
الْقِصَا صُ هُوَ أَنْ يُوْقِعَ عَلَى الجَا نِى مِثْلَ مَا جَنَى
“Qishash adalah menjatuhkan hukuman kepada pelaku persis seperti apa yang dilakukannya.”
     Karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa orang lain (membunuh), maka hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.[6]
3.      Pengertian Diyat
 Diyat dalam arti jarimah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap objek jiwa dan anggota badan,  baik perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, mengakibatkan luka, atau tidak berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semi sengaja. Adapun Diyat dalam arti hukuman merupakan hukuman pokok bagi jarimah-jarimah dengan sasaran manusia yang dilakukan dengan sengaja atau semi sengaja. Disamping itu Diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman pokok (Qishash) yang dimaafkan atau karena suatu sebab yang tak dapat dilaksanakan.[7]
Menurut Sayid Sabiq diyat adalah:
الدِّيَةُ هِىَ الْمَا لُ الَّذِ ى يَجِبُ بِسَبَبِ الْجِنَا يَةِ وَتُؤَ دَّ ى إِلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ أَوْ وَلِيِّه
“Diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku, karena terjadinya tidak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau walinya.”
Dari defenisi tersebut jelaslah bahwa diyat merupakan uqubah maliyah (hukuman yang bersifat harta), yang diserahkan kepada korban apabila ia masih hidup, atau kepada wali (keluarganya) apabila ia sudah meninggal, bukan kepada pemerintah.[8] Dasar hukumnya adalah Surah An Nisa’ ayat 92:

Artinya:”...dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah...”





B.  Ruang Lingkup Hudud, dan Diyat
1.      Ruang Lingkup Hudud
Ruang lingkup hudud meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti:
a.    Perzinaan
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang yang melakukan hubungan seksual atau hubungan kelamin di luar nikah.[9] Perzinaan dilarang secara tegas dan keras oleh Islam. Ketegasan larangan ini terlihat dalam firman Allah dalam surat Al Isra’ ayat 32:

Artinya:Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”[10]
b.    Qaadzaf (menuduh zina)
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang yang menuduh orang lain berbuat zina. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tuduhan bilamana tidak sesuai dengan kenyataan.[11]
Bila seseorang melontarkan tuduhan kepada seseorang melakukan zina dan dia yakin akan kebenaran akan tuduhannya itu dan untuk itu dia mampu mendatangkan empat orang saksi, maka tuduhan itu tidak disebut dalam arti qaadzaf karena yang demikian berarti melaporkan terjadinya perzinaan. Namun bila dia tahu tidak pernah terjadi perzinaan, oleh karenanya dia yakin tidaka akan mampu mendatangkan saksi yang dikehendaki tetapi dia mengemukakan secara terbuka perzinaan itu, ucapannya itu adalah suatu kebohongan atau yang disebut fitnah. Bila fitnah itu berkenaan dengan perbuatan lainnya, tidak disebut qaadzaf. Dengan begitu qaadzaf itu lebih tepat disebut fitnah berbuat zina. Termasuk pada pengertian qaadzaf adalah ucapan meniadakan nasab seseorang.[12]
c.    Syurb al Kamar
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang yang melakukan atau meminum-minuman keras.[13] Yang dimaksud dengan minuman keras disini adalah segala sesuatu yang dapat merusak akal dan memabukkan yang dalam bahasa Al Quran dengan Khamar. Larangan terhadap mabuk dapat dipahami dari firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 43[14]:

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”
d.   Pencurian
Yaitu jarimah yang tejadi karena seseorang mukallaf yang baligh dan berakal mengambil milik orang lain secara diam-diam. Dalam syariat Islam pencurian itu ada dua macam, yaitu: pencurian yang hukukmannya hadd dan pencurian yang hukumannya ta’zir.[15] Pencurian dalam arti yang lebih jelas adalah menjadikan sesuatu yang bukan miliknya, menjadi miliknya dengan cara dan dalam bentuk apa saja, baik sesuatu itu milik perseorang atau milik masyarakat. Mengambil dan memakan sesuatu dengan cara tidak halal itulah secara umum disebut mencuri. Hal ini secara tegas dinyatakan Allah dalam surat An Nisa’ ayat 29[16]:

Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu...”
e.    Hirabah
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang mengambil harta orang lain dengan cara terang-terangan atau kekerasan.[17]
Maksudnya adalah tindakan kekerasan (perampokan) yang dilakukan dijalanan untuk mengganggu orang yang lalu lalang diatasnya. Karena adanya gangguan tersebut orang-orang menjadi takut lalu di jalan itu sehingga jalan itu seperti terputus. Yang menjadi dasar hukum dari larangan dan ancaman terhadap pengganggu ketentraman jalan ini adalah firman Allah dalam surat Al Qasash ayat 77[18]:

Artinya:”...dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
f.     Murtad (Riddah)
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang yang kembali dari agama Islam kepada kekafiran baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan.[19]
Murtad termasuk perbuatan maksiat yang besar dan diancam Allah dengan dosa dan azab di akhirat, melebihi kejahatan menolak beragama Islam. Tujuan dari larangan Allah terhadap tindakan murtad ini adalah karena tindakan murtad tersebut melanggar salah satu sendi dari kehidupan manusia yaitu beragama. Setiap sendi dari kehidupan itu harus ditegakkan dan segala usaha meniadakan salah satu sendi tersebut adalah satu maksiat.[20]
g.    Pemberontakan (Al Baqyu)
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang melakukan pemberontakan atau memerangi Allah dan Rasul dengan memakai alasan-alasan tertentu (takwil). Alasan tersebut biasanya adalah alasan politisi sehingga tindakan yang dilakukan bukan hanya sekedar mengadakan kekacauan atau mengganggu keamanan melainkan tindakan yang targetnya adalah mengambil alih kekuasaan dan menjatuhkan pemerintah yang sah.[21]
Defenisi yang lebih sederhana, namun mengandung unsur-unsur pokok dalam suatu defenisi dan dapat diterima semua pihak adalah:”Perlawanan terhadap imam (penguasa) yang sah dengan menggunakan kekuatan”. Kriteria dari al Bahqyu tersebut yaitu:
1)   Menentang kekuasaan atau melakukan perlawanan terhadap imam atau penguasa yang sah dan adil dengan maksud dan cara menghilangkan kekuasaan yang sah atau menarik kepatuhan daripadanya atau menolak memberikan hak-haknya.
2)   Dilakukan oleh sekelompok orang yang diorganisir oleh pimpinan yang dipatuhi.
3)   Dilakukan dengan suatu ide tertentu.
4)   Menggunakan kekuatan bersenjata.
5)   Perlawanan terhadap kekuasaan yang sah itu dilakukan dengan sengaja, sadar, dan mengetahui bahwa tindakan tersebut adalah salah dan dilarang oleh agama.[22]

2.      Ruang Lingkup Diyat
a.    Diyat Mughallazah (Denda yang berat)
Yaitu seseorang yang harus memabayar denda 100 ekor unta terdiri dari 30 ekor unta hiqqah (unta betina berumur 3-4 tahun), 30 ekor unta jadza’ah (unta betina berumur 4-5 tahun), 40 ekor unta khalafah (unta betina yang mengandung). Diyat Mughallazah ini diwajibkan kepada:
1)   Pembunuh yang membunuh dengan sengaja tetapi dimaafkan oleh keluarga korban.
2)   Pembunuhan seperti disengaja.
3)   Pembunuhan yang tidak disengaja, yang dilakukan di tanah haram, yaitu di kota Mekkah.
4)   Pembunuhan yang tidak disengaja, yang dilakukan di bulan-bulan haram, yaitu bulan Duzlqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan bulan Rajab.
5)   Pembunuhan yang tidak disengaja terhadap mahram kecuali pembunuhan orang tua terhadap anaknya.[23]
b.    Diyat Mukaffafah (Denda yang ringan)
Yaitu dengan membayar 100 ekor unta yang terdiri: 20 ekor hiqqah, 20 okor jadza’ah, 20 ekor binta labun (unta yang berumur lebih dari dua tahun), dan 20 ekor unta binta makhad (unta betina berumur lebih dari satu tahun). Diyat mukaffafah ini diwajibkan kepada:
1)   Orang yang membunuh tak disengaja selain  di tanah haram, bulan haram, dan bukan kepada mahram. Masa pembayarannya selama tiga tahun, dibayar setiap tahin di bayar sepertiga.
2)   Orang yang dengan sengaja memotong atau membuat cacat atau melukai anggota badan seseorang, tapi dimaafkan oleh korban atau anggota keluarga, maka wajib diyat.
3)   Orang yang melakukan kejahatan, seperti memotong dua tangan, dua kaki, dua telinga, hidung, lidah, dua bibir, kemaluan laki-laki, merusak dua mata, tempat keluarnya suara, penglihatan, dan merusak pendengaran.
4)   Pembunuhan semi sengaja.[24]

C.  Unsur-unsur Hudud
1.    Unsur-unsur jarimah zina
a.    Persetubuhan yang diharamkan
1)   Wathi pada dubur (liwath)
Liwath atau homoseksual merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan merupakan jarimah yang bahkan lebih keji daripada zina. Liwath merupakan perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia dan sebenarnya berbahaya bagi kehidupan manusia yang melakukannya.
2)   Menyetubuhi Mayat
Dalam kasus tindak pidana menyetubuhi mayat ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari mazhab Syafi’i dan Hanbali, bahwa perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai zina yang dikenakan hukuman hadd. Pelaku hanya dikenakan hukuman ta’zir. Imam Malik berpendapat apabila seseorang menyetubuhi mayat, baik pada qubul maupun duburnya, dan bukan pula istrinya maka perbuatannya itu dianggap sebagai zina dan pelaku dikenai hukuman hadd. Akan tetapi, apabila yang disetubuhinya itu istrinya sendiri yang telah meninggal, ia tidak dikenai hukuman hadd.
3)   Menyetubuhi binatang.
4)   Persetubuhan dengan adanya syuhbat.
b.    Adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum
Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan (persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhinya adalah wanita yang haram baginya.[25]
2.    Unsur-unsur Qadzaf
a.    Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab
Unsur ini terpenuhi terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan zina atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya, dan ia (pelaku penuduh) tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkannya.
b.    Orang yang dituduh harus orang yang muhshan
c.    Adanya niat yang melawan hukum[26]
3.    Unsur-unsur Syurb al Khamar
a.    Asy Syurbu
Sesuai dengan pengertian Asy Syurbu (meminum) menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa unsur ini (Asy Syurbu) terpenuhi apabila pelaku meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini tidak diperhatikan nama dari minuman itu dan dari bahan apa minuman itu diproduksi. Tidak pula diperhatikan kekuatan memabukkannya, baik sedikit ataupun banyak tetap hukumannya adalah haram.
b.    Adanya niat yang melawan hukum
4.    Unsur-unsur Pencurian
a.    Pengambilan secara diam-diam
b.    Barang yang diambil berupa harta

c.    Harta tersebut milik orang lain

d.   Adanya niat yang melawan hukum
Unsur ini yang dikenai hukuman hadd adalah adanya niat yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku pencurian mengambil suatu barang padahal ia tahu bahwa barang tersebut bukan miliknya, dan karenanya haram untuk diambil.[28]
5.    Unsur-unsur pemberontakan
a.   Pembangkangan terhadap kepala negara 
b.  Adanya niat yang melawan hukum

6.    Unsur-unsur Riddah
a.    Kembali (ke luar) dari Islam
Pengertian ke luar dari Islam itu adalah meninggalkan agama Islam setelah tadinya mempercayai dan meyakininya. Keluar dari Islam bisa salah satu dari tiga cara, yaitu: dengan perbuatan, dengan ucapan, atau dengan keyakinan.  
b.    Niat yang melwan hukum
Untuk terwujudnya jarimah riddah disyaratkan bahwa pelaku perbuatan itu sengaja melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada kekafiran, padahal ia tahu dan sadar bahwa perbuatan dan ucapannya itu berisi kekafiran. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kekafiran tetapi ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut menunjukkan kekafiran, maka ia tidak termasuk kafir atau murtad.[30]

D.  Pembuktian Hudud
1.    Pembuktian Zina
Untuk jarimah zina ada tiga macam cara pembuktian, yaitu:
a.    Pembuktian dengan saksi

b.    Pembuktian dengan pengakuan

c.    Pembuktian dengan Qarinah
Qarinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada seseorang wanita yang tidak bersuami, yang tidak diketahui suaminya.
2.    Pembuktian Qadzaf
a.    Dengan saksi
b.    Dengan pengakuan

c.    Dengan sumpah

3.    Pembuktian Syurb al Kamar
a.    Dengan Saksi
Jumlah minimal saksi yang diperlukan untuk membuktikan jarimah minuman khamar adalah dua orang yang memenuhi syarat-syarat persaksian.
b.    Dengan Pengakuan
Jarimah minuman khamar dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku.
c.    Dengan Qarinah
Jarimah minuman khamar juga bisa dibuktikan dengan qarinah atau tanda antara lain: bau minuman, mabuk, dan muntah.[34]
4.    Pembuktian Pencurian
a.    Dengan Saksi
Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian minimal dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenakan hukuman. Imam Abu Hanifah mensyaratkan untuk diterimanya persaksian, adanya pengaduan atau tuntutan dari orang yang memiliki atau menguasai barang yang dicuri. Akan tetapi, ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal tersebut.[35]
b.    Dengan Pengakuan
Pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana pencurian. Menurut Zhahiriyah, pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i. Akan tetapi Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
c.    Dengan Sumpah
Dikalangan Syafi’iyah berkembang suatu pendapat bahwa pencurian bisa juga dibuktikan dengan sumpah yang dikembalikan. Apabila dalam suatu peristiwa pencurian tidak ada saksi dan tersangka tidak mengakui perbuatannya maka korban (pemilik barang)  dapat meminta kepada tersangka untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan pencurian. Apabila tersangka enggan bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada penuntut (pemilik barang). Apabila pemilik barang mau bersumpah maka tindak pidanan pencurian bisa dibuktikan dengan sumpah tersebut dan keengganan bersumpah tersangka, sehingga ia (tersangka) dikenai hukuman hadd.[36]
5.    Pembuktian Hirabah
a.    Pembuktian dengan Saksi
Saksi untuk pembuktian jarimah hirabah bisa diambil dari para korban, dan bisa juga dari orang-orang yang ikut terlibat dalam tindak pidana perampokan tersebut. Apabila saksi laki-laki tidak ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat orang saksi perempuan.
b.    Pembuktian dengan Pengakuan
Pengakuan seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat bukti. Jumhur ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi menurut Ulama Hanabilah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus dinyatakan minimal dua kali.[37]

E.  Pelaksanaan Hukuman Hudud, Qishash, dan Diyat
1.    Pelaksanaan Hukuman Hudud
a.    Pelaksanaan Hukuman Zina
1)   Cara Pelaksanaan Hukuman Rajam
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari batu atau benda-benda lain. Menurut Imam Abu Hanifah, lemparan pertama dilakukanoleh para saksi apabila pembuktiannya dengan saksi. Setelah itu diikuti oleh imam atau pejabat yang ditunjuknya dan diteruskan oleh masyarakat.
Apabila orang yang akan dirajam itu laki-laki, hukumaan dilaksanakan dengan berdiri tanpa dimasukkan ke dalam lubang dan tanpa dipegang atau diikat. Hal ini didasarkan kepada hadist Rasulullah SAW ketika merajam Ma’jiz dan orang Yahudi:
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ قَالَ : لَمَّاأَمَرَنَارَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُرْ جِمَ مَا عِزَ ابْنَ مَالِكٍ خَرَجْنَا بِهِ إِلَى الْبَقِيْعِ فَوَا للَّهِ مَا حَفَرْنَا لَهُ وَلاَ أَوْثَقْنَاهُ وَلَكِنْ قَامَ لَنَا فَرَمَيْنَاهُ بِالْعِظَامِ...
Dari Abi Sa’id ia berkata: Ketika Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk merajam Ma’iz ibn Malik maka kami membawanya ke Baqi’. Demi Allah kami tidak memasukkannya ke dalam lubang dan tidak pula mengikatnya, melainkan ia tetap berdiri. Maka kami melemparinya dengan tulang...
            Apabila melarikan diri dan pembuktiannya dengan pengakuan maka ia tidak perlu dikejar dan hukuman dihentikan. Akan tetapi, apabila pembuktiannya dengan saksi maka ia harus dikejar, dan selanjutnya hukuman rajam diteruskan sampai ia mati. Apabila orang yang dirajam itu wanita, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, ia boleh dipendam sampai batas dada, karena cara demikian itu lebih menutupi auratnya. Adapun menurut mazhab Maliki dan pendapat yang rajih dalam mazhab Hanbali, wanita juga tidak dipendam, sama halnya dengan laki-laki.[38]
2)   Cara Pelaksanaan Hukuman Dera
Hukum dera dilaksanakan dengan menggunakan cambuk, dengan pukulan yang sedang sebanyak 100 kali cambukan. Disyaratkan cambuk tersebut harus kering, tidak boleh basah, karena bisa menimbulkan luka. Disamping itu, juga diisyaratkan cambuk tersebut ekornya tidak boleh lebih dari satu. Apabila cambuk lebih dari satu ekor, jumlah pukulan dihitung sesuai dengan banyaknya ekor cambuk tersebut. Hukuman dera tidak boleh sampai menimbulkan bahaya terhadap orang yang terhukum, karena hukuman ini bersifat pencegahan. Oleh karena itu, hukuman tidak boleh dilaksanakan dalam keadaan panas terik atau cuaca yang sangat dingin. Demikian pula hukuman tidak dilaksanakan atas orang yang sedang sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang sedang hamil sampai ia melahirkan.[39]
b.    Pelaksanaan Hukuman Qadzaf
1)   Hukuman pokok, yaitu dera sebanyak delapan puluh kali. Hukuman ini merupakan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan.
2)   Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.[40]
c.    Pelaksanaan Hukuman Syurb al Khamar
                      Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, hukuman untuk peminum minuman keras (khamar) adalah dera delapan puluh kali. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan satu riwayat Imam Ahmad, hukuman untuk peminum minuman keras tersebut adalah dera empat puluh kali. Akan tetapi, mereka ini membolehkan hukuman dera delapan apabila hakim (imam) memandang perlu. Dengan demikian, hukuman haddnya empat puluh kali dera, sedangkan kelebihannya, yaitu empat puluh kali dera lagi merupakan hukuman ta’zir.[41]
d.   Pelaksanaan Hukuman Pencurian
1)   Penggantian Kerugian

2)   Hukuman Potong Tangan
Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok untuk tindak pidaana pencurian. Hukuman potong tangan merupakan hak Allah yang tidak bisa digugurkan, baik oleh korban maupun ulil amri. Ketentuan ini disarkan pada firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 38[43]:

Artinya:Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
e.    Pelaksanaan Hukuman Hirabah
1)   Hukuman untuk yang Menakut-nakuti

2)   Hukuman untuk yang Mengambil Harta tanpa Membunuh
Apabila jenis perampokan hanya mengambil harta tanpa membunuh maka menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang, yaitu dipotong tangan kanan dan kaki kirinya.
3)   Hukuman untuk Membunuh tanpa Mengambil Harta
Apabila pelaku perampokan hanya membunuh korban tanpa mengambil hartanya maka menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukumannya adalah dibunuh sebagai hukuman hadd tanpa disalib. Semantara menurut riwayat yang lain dari Imam Ahmad dan salah satu pendapat Syi’ah Zaidiyah disamping hukumn mati, pelaku juga harus disalib.[44]
4)   Hukuman untuk Membunuh dan Mengambil Harta

f.     Pelaksanaan Hukuman Murtad (riddah)
1)   Hukuman Pokok
Hukuman poko untuk jarimah riddah adalah hukuman mati dan statusnya sebagai hukuman hadd. Hukuman mati ini adalah hukuman yang berlaku umum untuk setiap orang yang murtad, baik ia laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. 
2)   Hukuman Pengganti
a)    Apabila hukuman pokok gugur karena tobat maka hakim menggantinya dengan hukuman ta’zir yang sesuai dengan keadaan pelaku perbuatan tersebut.
b)   Apabila hukuman pokok gugur karena syubhat, seperti pandangan Imam Abu Hanifah yang menggugurkan hukuman mati dari pelaku wanita dan anak-anak maka dalam kondisi ini pelaku perbuatan itu (wanita dan anak-anak) dipenjara dengan masa hukuman yang tidak terbatas dan keduanya dipaksa kembali ke agama Islam.[46]
3)   Hukuman Tambahan
a)    Penyitaan atau perampasan harta.
b)   Berkurangnya kecakapan untuk melakukan tasarruf.
2.    Pelaksanaan Hukuman Qishash
Orang yang berhak yang behak menuntut dan memaafkan qishash menurut Imam Malik adalah ahli waris ashabah bi nafsih, orang yang paling dekat dengan korban itulah yang berhak untuk itu. 
3.    Pelaksanaan Hukuman Diyat
Para ulama sepakat bahwa pembayaran diyat wajib diambil dari harta si pembunuh. Apabila pembunuhnya lebih dari satu orang, maka diyat dibayar oleh mereka bersama-sama. Waktu pembayaran menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad harus dengan segera dan tidak boleh diakhirkan walaupun walliy al dam membolehkannya, karena diyat bagi pembunuhan sengaja itu pengganti qishash dan qishash tidak boleh diakhirkan.[48]





[1] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah 4,(Jakarta:Cakrawala Publishing,2012),hlm.164
[2]Djazuli,Fiqh Jinayah,(Jakarta:RajaGrafindo Persada,2000),hlm.24
[3] Sri Yunarti,Fiqh Jinayah,(Batusangkar:STAIN Batusangkar Press,2012),hlm.243-244
[4] Djazuli,Opcit,hlm.164
[5] Sri Yunarti,Opcit,hlm.256-257
[6] Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2005),hlm.148-149
[7] Sri Yunarti,Fiqh Jinayah,(Batusangkar:STAIN Batusangkar Press,2012),hlm.258
[8] Ahmad Wardi Muslich ,Opcit,hlm.166-167
[9] Sri Yunarti,Opcit,.hlm.244
[10] Amir Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta:Prenada Media Group,2010),hlm.274
[11] Sri Yunarti, Opcit,.hlm.244
[12] Amir Syarifuddin,Opcit,hlm.284
[13] Sri Yunarti,Fiqh Jinayah,(Batusangkar:STAIN Batusangkar Press,2012),hlm.244
[14] Amir Syarifudin, Opcit,hlm.289
[15]Sri Yunarti, Opcit,hlm.244
[16] Opcit,hlm.298
[17] Sri Yunarti,Fiqh Jinayah,(Batusangkar:STAIN Batusangkar Press,2012),hlm.244
[18] Ibid,hlm.305-306
[19] Sri Yunarti,Opcit,hlm.245
[20] Amir Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta:Prenada Media Group,2010),hlm.315-317
[21] Sri Yunarti,Opcit,hlm.245
[22] Amir Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta:Prenada Media Group,2010),hlm.311-312
[23] Sri Yunarti,Fiqh Jinayah,(Batusangkar:STAIN Batusangkar Press,2012),hlm.259
[24] Ibid,hlm. 260
[25] Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2005),hlm.8-25
[26] Ibid,hlm.62-65
[27] Ibid,hlm.74-76
[28] Ibid,hlm.83-87
[29] Ibid,hlm.111-116
[30] Ibid,hlm.121-127
[31] hlm.41-52
[32] Ibid,hlm.53
[33] Ibid,hlm.68-69
[34] Ibid,hlm.78-79
[35] Ibid,hlm.88-89
[36] Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2005),hlm.89
[37] Ibid,hlm.99
[38] Ibid,hlm.57-58
[39] Ibid,hlm.58-59
[40] Ibid,hlm.69
[41] Ibid,hlm.76-77
[42] Ibid,hlm.90
[43] Ibid,hlm.90-91
[44] Ibid,hlm.102
[45] Ibid,hlm.102
[46] Ibid,hlm.130
[47] Djazuli,Fiqh Jinayah,(Jakarta:RajaGrafindo Persada,2000),hlm.153-154
[48] Ibid,hlm.161-162