BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hudud, Qishash, dan Diyat
1.
Pengertian
Hudud
Kata hudud merupakan bentuk plural dari kata hadd yang
berarti sesuatu yang memisahkan antara dua hal. Juga dapat diartikan sesuatu
yang membedakan antara yang satu dan yang lain. Masuk dalam arti hudud adalah
dinding rumah atau batasan-batasan tanah.[1]
Hudud (hukuman)
adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahan manusia dan menjaga mereka
dari hal-hal yang mafsadah, kaena Islam itu sebagai rahmatan lil ‘alamin,
untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.[2]
Hudud secara bahasa,
adalah bentuk jama’ dari bahasa Arab “hadd” yang berarti pencegahan,
penekanan, atau larangan. Jadi dengan demikian secara istilah jarimah hudud dapat
diartikan suatu jarimah yang diancam dengan hukuman hadd. Pengertian
hukuman hadd, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu
hukuman hadd adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan
merupakan hak Allah SWT. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri
khas jarima hudud itu adalah sebagai berikut:
a.
Hukumannya
tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman itu telah ditentukan oleh
syara’ dan tidak ada batas maksimal atau minimal.
b.
Hukuman
tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia disamping
hak Allah maka hak Allah yang paling dominan.
c.
Had itu merupakan hak Allah maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan
oleh perseorangan atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara.[3]
Secara bahasa, hudud memiliki kesamaan makna dengan al-Man’u
yang berarti pencegahan. Hukuman atas suatu pelanggaran disebut dengan hudud,
karena hukuman tersebut bertujuan untuk mencegah orang yang melakukan
pelanggaran tidak mengulangi perbuatan yang menyebabkan dirinya dihukum. Hudud
juga bisa diartikan dengan pelanggaran itu sendiri, sebagaimana dalam
firman Allah SWT QS. Al Baqarah:187
Artinya:”
...Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya...”
Ditinjau dari sisi syara’, hudud artinya ketetapan atas
suatu hukuman untuk menjaga hak Allah SWT. Oleh sebab itu, hukum ta’zir tidak
termasuk kedalam pengertian ini, karena hukum ta’zir merupakan suatu
hukuman yang tidak diketahui ketetapannya karena ketetapannya ditentukan oleh
pemimpin. Qishash juga tidak termasuk kedalam pengertian ini, karena
hukum Qishash berdasarkan kepada hak sesama manusia atau hak seluruh
anak cucu Adam.[4]
2.
Pengertian
Qishash
Kata Qisash berasal dari bahasa Arab “Qashsha”
berarti memotong, atau mengikuti jejak buruannya. Dengan arti ini maka kata “Qashsha”
bermakna hukum balas dengan hukuman yang setimpal bagi pembunuhan yang
dilakukan, yaitu nyawanya sendiri harus dicabut seperti dia mencabut nyawa
korbannya, kendatipun tidak harus dibunuh dengan senjata yang sama dengan
senjata dia membunuh korbannya. Abdul Qadir Audah mendefenisikan Qishash sebagai
keseimbangan atau pemabalasan terhadap si pelaku tindak pidana dengan sesuatu
yang seimbang dari apa yang telah diperbuatnya. Sementara menurut Sri Yunarti
makna Qishash itu sendiri adalah hukuman bagi perbuatan pidana dengan
objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti
membunuh, melukai, menghilangkan anggota badan dengan sengaja. Hukuman Qishash
tidak dikenakan pada pelaku pembunuhan, kecuali terpenuhinya persyaratan
dibawah ini:
a.
Korban
adalah orang yang haram dibunuh, artinya ia terlindungi darahnya. Orang yang
tidak terlindungai darahnya menurut Islam adalah pezina, muhsan, orang
murtad, kafir harbi, dan lain-lain.
b.
Pelaku
pembunuhan adalah orang yang mukallaf, akil baliqh, tidak hilang ingatan
(gila), sebab itu mereka itu dikenai pembebanan (taklif).
c.
Pelaku
pembunuhan mempunyai hak pilih untuk melakukan atau meninggalkan, artinya ia
melakukan perbuatan tersebut tanpa tekanan, tanpa paksaan yang berat yang
menyebabkan hilangnya hak pilih tadi.
d.
Pelaku
pembunuhan bukan orang tua korban, ayah, atau datuknya.[5]
Qishash dalam arti
bahasa adalah تَتَّبَعَ الأَثَرَ , artinya
menelusuri jejak. Pengertian tersebut digunakan untuk arti hukuman, karena
orang yang berhak atas Qishash mengikuti dan menelusuri jejak tindak
pidana dari pelaku. Qishash juga diartikan: المُمَاثَلَةُ, yaitu keseimbangan dan kesepadanan. Menurut istilah syara’, Qishash
adalah مُجَا زَاةُالْجَا
نِىِ بِمِثْلِ فِعْلِهِ yang artinya memberikan
balasan kepada pelaku, sesuai dengan perbuatannya. Dalam redaksi yang berbeda,
Ibrahim Unais memberikan defenisi Qishash sebagai berikut:
الْقِصَا
صُ هُوَ أَنْ يُوْقِعَ عَلَى الجَا نِى مِثْلَ مَا جَنَى
“Qishash adalah
menjatuhkan hukuman kepada pelaku persis seperti apa yang dilakukannya.”
Karena
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa orang lain
(membunuh), maka hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.[6]
3.
Pengertian
Diyat
Diyat dalam arti jarimah perbuatan yang dilakukan seseorang terhadap
objek jiwa dan anggota badan, baik
perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, mengakibatkan luka, atau tidak
berfungsinya anggota badan korban, yang dilakukan tanpa sengaja atau semi
sengaja. Adapun Diyat dalam arti hukuman merupakan hukuman pokok bagi
jarimah-jarimah dengan sasaran manusia yang dilakukan dengan sengaja atau semi
sengaja. Disamping itu Diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman
pokok (Qishash) yang dimaafkan atau karena suatu sebab yang tak dapat
dilaksanakan.[7]
Menurut Sayid Sabiq diyat adalah:
الدِّيَةُ هِىَ
الْمَا لُ الَّذِ ى يَجِبُ بِسَبَبِ الْجِنَا يَةِ وَتُؤَ دَّ ى إِلَى الْمَجْنِيِّ
عَلَيْهِ أَوْ وَلِيِّه
“Diyat
adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku, karena terjadinya tidak
pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan diberikan kepada korban atau
walinya.”
Dari defenisi tersebut jelaslah bahwa diyat merupakan uqubah
maliyah (hukuman yang bersifat harta), yang diserahkan kepada korban
apabila ia masih hidup, atau kepada wali (keluarganya) apabila ia sudah
meninggal, bukan kepada pemerintah.[8]
Dasar hukumnya adalah Surah An Nisa’ ayat 92:
Artinya:”...dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah...”
B.
Ruang Lingkup Hudud, dan Diyat
1.
Ruang
Lingkup Hudud
Ruang lingkup hudud meliputi berbagai tindak kejahatan
kriminal, seperti:
a.
Perzinaan
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang yang melakukan hubungan
seksual atau hubungan kelamin di luar nikah.[9]
Perzinaan dilarang secara tegas dan keras oleh Islam. Ketegasan larangan ini
terlihat dalam firman Allah dalam surat Al Isra’ ayat 32:
Artinya:”
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”[10]
b.
Qaadzaf
(menuduh zina)
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang yang menuduh orang lain
berbuat zina. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tuduhan bilamana tidak
sesuai dengan kenyataan.[11]
Bila seseorang melontarkan tuduhan kepada seseorang melakukan zina
dan dia yakin akan kebenaran akan tuduhannya itu dan untuk itu dia mampu
mendatangkan empat orang saksi, maka tuduhan itu tidak disebut dalam arti qaadzaf
karena yang demikian berarti melaporkan terjadinya perzinaan. Namun bila
dia tahu tidak pernah terjadi perzinaan, oleh karenanya dia yakin tidaka akan
mampu mendatangkan saksi yang dikehendaki tetapi dia mengemukakan secara
terbuka perzinaan itu, ucapannya itu adalah suatu kebohongan atau yang disebut
fitnah. Bila fitnah itu berkenaan dengan perbuatan lainnya, tidak disebut qaadzaf.
Dengan begitu qaadzaf itu lebih tepat disebut fitnah berbuat zina.
Termasuk pada pengertian qaadzaf adalah ucapan meniadakan nasab
seseorang.[12]
c.
Syurb
al Kamar
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang yang melakukan atau
meminum-minuman keras.[13]
Yang dimaksud dengan minuman keras disini adalah segala sesuatu yang dapat
merusak akal dan memabukkan yang dalam bahasa Al Quran dengan Khamar. Larangan
terhadap mabuk dapat dipahami dari firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 43[14]:
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”
d.
Pencurian
Yaitu jarimah yang tejadi karena seseorang mukallaf yang baligh dan
berakal mengambil milik orang lain secara diam-diam. Dalam syariat Islam
pencurian itu ada dua macam, yaitu: pencurian yang hukukmannya hadd dan
pencurian yang hukumannya ta’zir.[15]
Pencurian dalam arti yang lebih jelas adalah menjadikan sesuatu yang bukan
miliknya, menjadi miliknya dengan cara dan dalam bentuk apa saja, baik sesuatu
itu milik perseorang atau milik masyarakat. Mengambil dan memakan sesuatu
dengan cara tidak halal itulah secara umum disebut mencuri. Hal ini secara
tegas dinyatakan Allah dalam surat An Nisa’ ayat 29[16]:
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu...”
e.
Hirabah
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang mengambil harta orang
lain dengan cara terang-terangan atau kekerasan.[17]
Maksudnya adalah tindakan kekerasan (perampokan) yang dilakukan
dijalanan untuk mengganggu orang yang lalu lalang diatasnya. Karena adanya
gangguan tersebut orang-orang menjadi takut lalu di jalan itu sehingga jalan
itu seperti terputus. Yang menjadi dasar hukum dari larangan dan ancaman
terhadap pengganggu ketentraman jalan ini adalah firman Allah dalam surat Al
Qasash ayat 77[18]:
Artinya:”...dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
f.
Murtad
(Riddah)
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang yang kembali dari agama
Islam kepada kekafiran baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran,
atau dengan ucapan.[19]
Murtad termasuk perbuatan maksiat yang besar dan diancam Allah
dengan dosa dan azab di akhirat, melebihi kejahatan menolak beragama Islam.
Tujuan dari larangan Allah terhadap tindakan murtad ini adalah karena tindakan
murtad tersebut melanggar salah satu sendi dari kehidupan manusia yaitu
beragama. Setiap sendi dari kehidupan itu harus ditegakkan dan segala usaha
meniadakan salah satu sendi tersebut adalah satu maksiat.[20]
g.
Pemberontakan
(Al Baqyu)
Yaitu jarimah yang terjadi karena seseorang melakukan pemberontakan
atau memerangi Allah dan Rasul dengan memakai alasan-alasan tertentu (takwil).
Alasan tersebut biasanya adalah alasan politisi sehingga tindakan yang
dilakukan bukan hanya sekedar mengadakan kekacauan atau mengganggu keamanan
melainkan tindakan yang targetnya adalah mengambil alih kekuasaan dan
menjatuhkan pemerintah yang sah.[21]
Defenisi yang lebih sederhana, namun mengandung unsur-unsur pokok
dalam suatu defenisi dan dapat diterima semua pihak adalah:”Perlawanan terhadap
imam (penguasa) yang sah dengan menggunakan kekuatan”. Kriteria dari al
Bahqyu tersebut yaitu:
1)
Menentang
kekuasaan atau melakukan perlawanan terhadap imam atau penguasa yang sah dan
adil dengan maksud dan cara menghilangkan kekuasaan yang sah atau menarik
kepatuhan daripadanya atau menolak memberikan hak-haknya.
2)
Dilakukan
oleh sekelompok orang yang diorganisir oleh pimpinan yang dipatuhi.
3)
Dilakukan
dengan suatu ide tertentu.
4)
Menggunakan
kekuatan bersenjata.
5)
Perlawanan
terhadap kekuasaan yang sah itu dilakukan dengan sengaja, sadar, dan mengetahui
bahwa tindakan tersebut adalah salah dan dilarang oleh agama.[22]
2.
Ruang
Lingkup Diyat
a.
Diyat
Mughallazah (Denda yang
berat)
Yaitu seseorang yang harus memabayar denda 100 ekor unta terdiri
dari 30 ekor unta hiqqah (unta betina berumur 3-4 tahun), 30 ekor unta jadza’ah
(unta betina berumur 4-5 tahun), 40 ekor unta khalafah (unta betina
yang mengandung). Diyat Mughallazah ini diwajibkan kepada:
1)
Pembunuh
yang membunuh dengan sengaja tetapi dimaafkan oleh keluarga korban.
2)
Pembunuhan
seperti disengaja.
3)
Pembunuhan
yang tidak disengaja, yang dilakukan di tanah haram, yaitu di kota Mekkah.
4)
Pembunuhan
yang tidak disengaja, yang dilakukan di bulan-bulan haram, yaitu bulan
Duzlqaidah, Dzulhijah, Muharam, dan bulan Rajab.
5)
Pembunuhan
yang tidak disengaja terhadap mahram kecuali pembunuhan orang tua terhadap
anaknya.[23]
b.
Diyat
Mukaffafah (Denda yang ringan)
Yaitu dengan membayar 100 ekor unta yang terdiri: 20 ekor hiqqah,
20 okor jadza’ah, 20 ekor binta labun (unta yang berumur lebih
dari dua tahun), dan 20 ekor unta binta makhad (unta betina berumur
lebih dari satu tahun). Diyat mukaffafah ini diwajibkan kepada:
1)
Orang
yang membunuh tak disengaja selain di
tanah haram, bulan haram, dan bukan kepada mahram. Masa pembayarannya selama
tiga tahun, dibayar setiap tahin di bayar sepertiga.
2)
Orang
yang dengan sengaja memotong atau membuat cacat atau melukai anggota badan
seseorang, tapi dimaafkan oleh korban atau anggota keluarga, maka wajib diyat.
3)
Orang
yang melakukan kejahatan, seperti memotong dua tangan, dua kaki, dua telinga,
hidung, lidah, dua bibir, kemaluan laki-laki, merusak dua mata, tempat
keluarnya suara, penglihatan, dan merusak pendengaran.
4)
Pembunuhan
semi sengaja.[24]
C.
Unsur-unsur Hudud
1.
Unsur-unsur
jarimah zina
a.
Persetubuhan
yang diharamkan
1)
Wathi
pada dubur (liwath)
Liwath atau
homoseksual merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan merupakan jarimah
yang bahkan lebih keji daripada zina. Liwath merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia dan sebenarnya berbahaya bagi
kehidupan manusia yang melakukannya.
2)
Menyetubuhi
Mayat
Dalam kasus tindak pidana menyetubuhi mayat ini para ulama berbeda
pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan salah satu pendapat dari mazhab Syafi’i
dan Hanbali, bahwa perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai zina yang
dikenakan hukuman hadd. Pelaku hanya dikenakan hukuman ta’zir. Imam
Malik berpendapat apabila seseorang menyetubuhi mayat, baik pada qubul maupun
duburnya, dan bukan pula istrinya maka perbuatannya itu dianggap sebagai zina
dan pelaku dikenai hukuman hadd. Akan tetapi, apabila yang disetubuhinya
itu istrinya sendiri yang telah meninggal, ia tidak dikenai hukuman hadd.
3)
Menyetubuhi
binatang.
4)
Persetubuhan
dengan adanya syuhbat.
b.
Adanya
kesengajaan atau niat yang melawan hukum
Unsur ini terpenuhi apabila pelaku melakukan suatu perbuatan
(persetubuhan) padahal ia tahu bahwa wanita yang disetubuhinya adalah wanita
yang haram baginya.[25]
2.
Unsur-unsur
Qadzaf
a.
Adanya
tuduhan zina atau menghilangkan nasab
Unsur ini terpenuhi terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan
tuduhan melakukan zina atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya, dan ia (pelaku
penuduh) tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkannya.
b.
Orang
yang dituduh harus orang yang muhshan
c.
Adanya
niat yang melawan hukum[26]
3.
Unsur-unsur
Syurb al Khamar
a.
Asy
Syurbu
Sesuai dengan pengertian Asy Syurbu (meminum) menurut Imam
Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa unsur ini (Asy Syurbu)
terpenuhi apabila pelaku meminum sesuatu yang memabukkan. Dalam hal ini tidak
diperhatikan nama dari minuman itu dan dari bahan apa minuman itu diproduksi.
Tidak pula diperhatikan kekuatan memabukkannya, baik sedikit ataupun banyak
tetap hukumannya adalah haram.
b.
Adanya
niat yang melawan hukum
4.
Unsur-unsur
Pencurian
a.
Pengambilan
secara diam-diam
b.
Barang
yang diambil berupa harta
c.
Harta
tersebut milik orang lain
d.
Adanya
niat yang melawan hukum
Unsur ini yang dikenai hukuman hadd adalah adanya niat yang
melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku pencurian mengambil suatu
barang padahal ia tahu bahwa barang tersebut bukan miliknya, dan karenanya
haram untuk diambil.[28]
5.
Unsur-unsur
pemberontakan
a. Pembangkangan
terhadap kepala negara
b. Adanya
niat yang melawan hukum
6.
Unsur-unsur
Riddah
a.
Kembali
(ke luar) dari Islam
Pengertian ke luar dari Islam itu adalah meninggalkan agama Islam
setelah tadinya mempercayai dan meyakininya. Keluar dari Islam bisa salah satu
dari tiga cara, yaitu: dengan perbuatan, dengan ucapan, atau dengan keyakinan.
b.
Niat
yang melwan hukum
Untuk terwujudnya jarimah riddah disyaratkan bahwa pelaku
perbuatan itu sengaja melakukan perbuatan atau ucapan yang menunjukkan kepada
kekafiran, padahal ia tahu dan sadar bahwa perbuatan dan ucapannya itu berisi
kekafiran. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan perbuatan yang
mengakibatkan kekafiran tetapi ia tidak mengetahui bahwa perbuatan tersebut
menunjukkan kekafiran, maka ia tidak termasuk kafir atau murtad.[30]
D.
Pembuktian Hudud
1.
Pembuktian
Zina
Untuk jarimah zina ada tiga macam cara pembuktian, yaitu:
a.
Pembuktian
dengan saksi
b.
Pembuktian
dengan pengakuan
c.
Pembuktian
dengan Qarinah
Qarinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam
jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada seseorang wanita yang tidak
bersuami, yang tidak diketahui suaminya.
2.
Pembuktian
Qadzaf
a.
Dengan
saksi
b.
Dengan
pengakuan
c.
Dengan
sumpah
3.
Pembuktian
Syurb al Kamar
a.
Dengan
Saksi
Jumlah minimal saksi yang diperlukan untuk membuktikan jarimah
minuman khamar adalah dua orang yang memenuhi syarat-syarat persaksian.
b.
Dengan
Pengakuan
Jarimah minuman khamar dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan
dari pelaku.
c.
Dengan
Qarinah
Jarimah minuman khamar juga bisa dibuktikan dengan qarinah atau
tanda antara lain: bau minuman, mabuk, dan muntah.[34]
4.
Pembuktian
Pencurian
a.
Dengan
Saksi
Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian
minimal dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenakan hukuman. Imam
Abu Hanifah mensyaratkan untuk diterimanya persaksian, adanya pengaduan atau
tuntutan dari orang yang memiliki atau menguasai barang yang dicuri. Akan
tetapi, ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal tersebut.[35]
b.
Dengan
Pengakuan
Pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana
pencurian. Menurut Zhahiriyah, pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak
perlu diulang-ulang. Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan
Imam Syafi’i. Akan tetapi Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, Syi’ah Zaidiyah
berpendapat bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
c.
Dengan
Sumpah
Dikalangan Syafi’iyah berkembang suatu pendapat bahwa pencurian
bisa juga dibuktikan dengan sumpah yang dikembalikan. Apabila dalam suatu
peristiwa pencurian tidak ada saksi dan tersangka tidak mengakui perbuatannya
maka korban (pemilik barang) dapat
meminta kepada tersangka untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan pencurian.
Apabila tersangka enggan bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada penuntut
(pemilik barang). Apabila pemilik barang mau bersumpah maka tindak pidanan
pencurian bisa dibuktikan dengan sumpah tersebut dan keengganan bersumpah
tersangka, sehingga ia (tersangka) dikenai hukuman hadd.[36]
5.
Pembuktian
Hirabah
a.
Pembuktian
dengan Saksi
Saksi untuk pembuktian jarimah hirabah bisa diambil dari
para korban, dan bisa juga dari orang-orang yang ikut terlibat dalam tindak
pidana perampokan tersebut. Apabila saksi laki-laki tidak ada maka bisa juga
digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat orang
saksi perempuan.
b.
Pembuktian
dengan Pengakuan
Pengakuan seorang pelaku perampokan dapat digunakan sebagai alat
bukti. Jumhur ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa
diulang-ulang. Akan tetapi menurut Ulama Hanabilah dan Imam Abu Yusuf,
pengakuan itu harus dinyatakan minimal dua kali.[37]
E.
Pelaksanaan Hukuman Hudud, Qishash, dan Diyat
1.
Pelaksanaan
Hukuman Hudud
a.
Pelaksanaan
Hukuman Zina
1)
Cara
Pelaksanaan Hukuman Rajam
Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari batu atau
benda-benda lain. Menurut Imam Abu Hanifah, lemparan pertama dilakukanoleh para
saksi apabila pembuktiannya dengan saksi. Setelah itu diikuti oleh imam atau
pejabat yang ditunjuknya dan diteruskan oleh masyarakat.
Apabila orang yang akan dirajam itu laki-laki, hukumaan
dilaksanakan dengan berdiri tanpa dimasukkan ke dalam lubang dan tanpa dipegang
atau diikat. Hal ini didasarkan kepada hadist Rasulullah SAW ketika merajam
Ma’jiz dan orang Yahudi:
عَنْ
أَبِى سَعِيْدٍ قَالَ : لَمَّاأَمَرَنَارَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ نُرْ جِمَ مَا عِزَ ابْنَ مَالِكٍ خَرَجْنَا بِهِ إِلَى
الْبَقِيْعِ فَوَا للَّهِ مَا حَفَرْنَا لَهُ وَلاَ أَوْثَقْنَاهُ وَلَكِنْ قَامَ
لَنَا فَرَمَيْنَاهُ بِالْعِظَامِ...
Dari Abi Sa’id
ia berkata: Ketika Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk merajam Ma’iz
ibn Malik maka kami membawanya ke Baqi’. Demi Allah kami tidak memasukkannya ke
dalam lubang dan tidak pula mengikatnya, melainkan ia tetap berdiri. Maka kami
melemparinya dengan tulang...
Apabila melarikan
diri dan pembuktiannya dengan pengakuan maka ia tidak perlu dikejar dan hukuman
dihentikan. Akan tetapi, apabila pembuktiannya dengan saksi maka ia harus
dikejar, dan selanjutnya hukuman rajam diteruskan sampai ia mati. Apabila orang
yang dirajam itu wanita, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, ia boleh
dipendam sampai batas dada, karena cara demikian itu lebih menutupi auratnya.
Adapun menurut mazhab Maliki dan pendapat yang rajih dalam mazhab
Hanbali, wanita juga tidak dipendam, sama halnya dengan laki-laki.[38]
2)
Cara
Pelaksanaan Hukuman Dera
Hukum dera dilaksanakan dengan menggunakan cambuk, dengan pukulan
yang sedang sebanyak 100 kali cambukan. Disyaratkan cambuk tersebut harus
kering, tidak boleh basah, karena bisa menimbulkan luka. Disamping itu, juga
diisyaratkan cambuk tersebut ekornya tidak boleh lebih dari satu. Apabila
cambuk lebih dari satu ekor, jumlah pukulan dihitung sesuai dengan banyaknya
ekor cambuk tersebut. Hukuman dera tidak boleh sampai menimbulkan bahaya
terhadap orang yang terhukum, karena hukuman ini bersifat pencegahan. Oleh
karena itu, hukuman tidak boleh dilaksanakan dalam keadaan panas terik atau
cuaca yang sangat dingin. Demikian pula hukuman tidak dilaksanakan atas orang
yang sedang sakit sampai ia sembuh, dan wanita yang sedang hamil sampai ia
melahirkan.[39]
b.
Pelaksanaan
Hukuman Qadzaf
1)
Hukuman
pokok, yaitu dera sebanyak delapan puluh kali. Hukuman ini merupakan hukuman hadd,
yaitu hukuman yang ditetapkan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak mempunyai
hak untuk memberikan pengampunan.
2)
Hukuman
tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.[40]
c.
Pelaksanaan
Hukuman Syurb al Khamar
Menurut
Imam Malik dan Abu Hanifah, hukuman untuk peminum minuman keras (khamar) adalah
dera delapan puluh kali. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan satu riwayat Imam
Ahmad, hukuman untuk peminum minuman keras tersebut adalah dera empat puluh
kali. Akan tetapi, mereka ini membolehkan hukuman dera delapan apabila hakim
(imam) memandang perlu. Dengan demikian, hukuman haddnya empat puluh
kali dera, sedangkan kelebihannya, yaitu empat puluh kali dera lagi merupakan
hukuman ta’zir.[41]
d.
Pelaksanaan
Hukuman Pencurian
1)
Penggantian
Kerugian
2)
Hukuman
Potong Tangan
Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok untuk tindak pidaana
pencurian. Hukuman potong tangan merupakan hak Allah yang tidak bisa
digugurkan, baik oleh korban maupun ulil amri. Ketentuan ini disarkan pada
firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 38[43]:
Artinya:”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
e.
Pelaksanaan
Hukuman Hirabah
1)
Hukuman
untuk yang Menakut-nakuti
2)
Hukuman
untuk yang Mengambil Harta tanpa Membunuh
Apabila jenis perampokan hanya mengambil harta tanpa membunuh maka
menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah
hukumannya adalah dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang, yaitu dipotong
tangan kanan dan kaki kirinya.
3)
Hukuman
untuk Membunuh tanpa Mengambil Harta
Apabila pelaku perampokan hanya membunuh korban tanpa mengambil
hartanya maka menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan satu riwayat dari
Imam Ahmad, hukumannya adalah dibunuh sebagai hukuman hadd tanpa
disalib. Semantara menurut riwayat yang lain dari Imam Ahmad dan salah satu
pendapat Syi’ah Zaidiyah disamping hukumn mati, pelaku juga harus disalib.[44]
4)
Hukuman
untuk Membunuh dan Mengambil Harta
f.
Pelaksanaan
Hukuman Murtad (riddah)
1)
Hukuman
Pokok
Hukuman poko untuk jarimah riddah adalah hukuman mati dan
statusnya sebagai hukuman hadd. Hukuman mati ini adalah hukuman yang
berlaku umum untuk setiap orang yang murtad, baik ia laki-laki maupun
perempuan, tua maupun muda.
2)
Hukuman
Pengganti
a)
Apabila
hukuman pokok gugur karena tobat maka hakim menggantinya dengan hukuman ta’zir
yang sesuai dengan keadaan pelaku perbuatan tersebut.
b)
Apabila
hukuman pokok gugur karena syubhat, seperti pandangan Imam Abu Hanifah yang
menggugurkan hukuman mati dari pelaku wanita dan anak-anak maka dalam kondisi
ini pelaku perbuatan itu (wanita dan anak-anak) dipenjara dengan masa hukuman
yang tidak terbatas dan keduanya dipaksa kembali ke agama Islam.[46]
3)
Hukuman
Tambahan
a)
Penyitaan
atau perampasan harta.
b)
Berkurangnya
kecakapan untuk melakukan tasarruf.
2.
Pelaksanaan
Hukuman Qishash
Orang yang berhak yang behak menuntut dan memaafkan qishash menurut
Imam Malik adalah ahli waris ashabah bi nafsih, orang yang paling dekat
dengan korban itulah yang berhak untuk itu.
3.
Pelaksanaan
Hukuman Diyat
Para ulama sepakat bahwa pembayaran diyat wajib diambil dari
harta si pembunuh. Apabila pembunuhnya lebih dari satu orang, maka diyat dibayar
oleh mereka bersama-sama. Waktu pembayaran menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Imam Ahmad harus dengan segera dan tidak boleh diakhirkan walaupun walliy al
dam membolehkannya, karena diyat bagi pembunuhan sengaja itu pengganti qishash
dan qishash tidak boleh diakhirkan.[48]
[1] Sayyid Sabiq,Fikih
Sunnah 4,(Jakarta:Cakrawala Publishing,2012),hlm.164
[2]Djazuli,Fiqh
Jinayah,(Jakarta:RajaGrafindo Persada,2000),hlm.24
[3] Sri Yunarti,Fiqh
Jinayah,(Batusangkar:STAIN Batusangkar Press,2012),hlm.243-244
[4] Djazuli,Opcit,hlm.164
[5] Sri Yunarti,Opcit,hlm.256-257
[6] Ahmad Wardi
Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2005),hlm.148-149
[7] Sri Yunarti,Fiqh
Jinayah,(Batusangkar:STAIN Batusangkar Press,2012),hlm.258
[8] Ahmad Wardi
Muslich ,Opcit,hlm.166-167
[9] Sri Yunarti,Opcit,.hlm.244
[10] Amir
Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta:Prenada Media
Group,2010),hlm.274
[12] Amir
Syarifuddin,Opcit,hlm.284
[14] Amir
Syarifudin, Opcit,hlm.289
[15]Sri Yunarti, Opcit,hlm.244
[16] Opcit,hlm.298
[17] Sri Yunarti,Fiqh
Jinayah,(Batusangkar:STAIN Batusangkar Press,2012),hlm.244
[18] Ibid,hlm.305-306
[19] Sri Yunarti,Opcit,hlm.245
[20] Amir
Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta:Prenada Media
Group,2010),hlm.315-317
[21] Sri Yunarti,Opcit,hlm.245
[22] Amir
Syarifudin,Garis-garis Besar Fiqh,(Jakarta:Prenada Media
Group,2010),hlm.311-312
[24] Ibid,hlm.
260
[25] Ahmad Wardi
Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2005),hlm.8-25
[26] Ibid,hlm.62-65
[27] Ibid,hlm.74-76
[28] Ibid,hlm.83-87
[29] Ibid,hlm.111-116
[30] Ibid,hlm.121-127
[31] hlm.41-52
[32] Ibid,hlm.53
[33] Ibid,hlm.68-69
[34] Ibid,hlm.78-79
[35] Ibid,hlm.88-89
[36] Ahmad Wardi
Muslich,Hukum Pidana Islam,(Jakarta:Sinar Grafika,2005),hlm.89
[37] Ibid,hlm.99
[38] Ibid,hlm.57-58
[39] Ibid,hlm.58-59
[40] Ibid,hlm.69
[41] Ibid,hlm.76-77
[42] Ibid,hlm.90
[44] Ibid,hlm.102
[45] Ibid,hlm.102
[46] Ibid,hlm.130
[47] Djazuli,Fiqh
Jinayah,(Jakarta:RajaGrafindo Persada,2000),hlm.153-154
[48] Ibid,hlm.161-162