A.
THAHARAH
1.
Pengertian Thaharah
Kata Thaharah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi
terambil dari kata طَهَرَ-يَطْهُرُ-طُهْرًا-طَهَارَةًyang berarti suci.[1] Menurut
pengertian bahasa thaharah berarti “suci/kesucian, atau “bersih/kebersihan”.
Kata ini mengandung pengertian yang lebih luas, yaitu mencakup kebersihan atau
kesucian dari segala kotoran bersifat fisik (material), seperti najis, kotoran,
kencing, dan lain-lain, maupun yang bersifat spiritual, yaitu kebersihan dari
aib dan kejahatan.[2]
Adapun definisi thaharah menurut Abbas Arfan adalah Suatu
perbuatan yang menentukan boleh tidaknya suatu ibadah itu dilaksanakan (sah
atau batal), walau dengan salah satu media thaharah (seperti tayammum)
atau semata mencari tambahan pahala (seperti basuhan yang kedua atau ketiga
dalam berwudhu.[3]
Imam An-Nawawi mendefinisikn thaharah yaitu keegiatan
mengangkat hadas atau menghilangkan najis atau yang serupa dengan kedua
kegiatan itu, dari segi bentuk atau maknanya. Definisi yang dibuat oleh ulama
mazhab Maliki, Hambali dan Hanafi adalah sama yaitu mereka mengatakan bahwa thaharah
adalah menghilangkan apa yang menghalangi shalat, yaitu hadas atau najis
dengan menggunakan air ataupun menghilangkan hukumnya dengan tanah.[4] Menurut
ulama Fiqh umumnya, Thaharah ialah :
رَفْعُ
مَا يَمْنَعُ الصَّلاَةَ وَمَا فِيْمَا مَعْنَاهَا مِنْ حَدَاثٍ أَوْنَجَاسَةٍ
بِاْلَماَءِ أَوْ رَفْعُ حُكْمِهِ بِاالتُّرَابِ
“Menghilangkan hadast atau najis yang
menghalangi shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan
hukumnya (hadas dan najis) dengan tanah”[5]
2.
Dasar Hukum Thaharah
Thaharah hukumnya
wajib berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Seseorang yang akan melakukan ibadah kepada Allah Swt, ia harus dalam keadaan
suci dan bersih. Sebagaimana firman Allah Swt :[6]
1.
QS. Al-Baqarah : 222
¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtäur úïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang bersih.”
2.
QS. Al-Taubah : 108
ÏmÏù ×A%y`Í cq7Ïtä br& (#rã£gsÜtGt 4 ª!$#ur =Ïtä úïÌÎdg©ÜßJø9$# ÇÊÉÑÈ
Artinya:“Di dalamnya (Masjid Quba) terdapat orang-orang yang membersihkan
diri, dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”
Nabi Muhammad Saw bersabda :[7]
لاَ يَقْبَلُ
الله صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ
“Sholat tidak akan diterima tanpa bersuci.”(HR.
Muslim [488]).
مِفْتَاحُ
الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُ
“Kunci sholat itu adalah suci.”(HR. Abu Daud [61]).
Jadi, thaharah adalah suatu
perbuatan untuk membersihkan diri khususnya dari kotoran material seperti hadas
dan najis. Dengan adanya dalil Alquran dan sunnah diatas menunjukkan bahwa thaharah
merupakan suatu kewajiban bagi seorang muslim khususnya sebelum melakukan
ibadah kepada Allah Swt.
3.
Tata Cara Thaharah
Kebersihan secara hukum islam adalah wajib. Maka dari itu terdapat
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membersihkan diri dari kotoran dan najis, diantaranya :[8]
1.
Istinja’
Secara
etimologi istinja’ berasal dari kata annajwu yang artinya adalah
benda yang keluar dari perut. Kata istinja’ berarti membasuh dengan air atau
menyapu dengan batu. Secara terminologis istinja’ menghilangkan najis
yang keluar dari qubul atau dubur baik dengan membasuh ataupun
dengan menyapu atau menyeka. . dengan arti kata istinja’ diwajibkan
setelah buang air kecil atau buang air besar.
Hadist
Rasulullah SAW :
عن
عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إِذَا ذَهَبَ أَحَدُكُم إِلَى الغَائِطِ
فَلْيَسْتَطِبْ بِثَلاَئَةِ أَحْجَارٍ فَإِنَّهَا تَجْزِئُ عَنْهُ. رواه أبوداود
“Dari Aisyah
r.a bahwa Nabi SAW bersabda : Apabila salah seorang kamu pergi buang air besar,
maka hendaklah dibaguskan (dihilangkan) dengan tiga batu. Sesungguhnya hal itu
telah memadai.”(HR. Abu Dawud)[9]
Membasuh atau
menyapu kedua tempat keluar najis (qubul dan dubur) tidak ada
ketentuan jumlahnya yang menjadi tujuan adalah tercapainya kebersihan. Hal ini
dapat tercapai dengan satu, dua atau tiga kali, kalau perlu lebih dari itu.
Hukum istinja’ menurut para fuqaha adalah makruh tahrim bila
dilakukan dengan tulang dan tahi binatang sebagaimana sabda Nabi SAW :
عن
جابر ابن عبدالله نهى النبي صلى الله عليه وسلم أَنْ يَتَمَسَّحَ بِعُظْمٍ أَوْ
بِعُرَّةٍ. رواه أحمد و مسلم و أبو داود
Artinya : “Dari
Jabir bin Abd Allah, Nabi SAW melarang seseorang mengusap (istinja’) dengan
tulang dan tahi binatang.(HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud) ”
Demikian juga
hukumnya beristinja’ dengan batu bata, tembikar, kaca, makanan manusia dan
semua benda-benda yang bermanfaat. Adapun rukun-rukun istinja’ yaitu :
a.
Mustanjin
(orang yang beristinja’)
b.
Mustanji
bih yaitu alat untuk beristinja’
c.
Mustanji
minhu yaitu najis yang keluar dari dua
jalan
Cara melakukan istinja’
yaitu hendaklah sseorang menuangkan air ke atas kanan kirinya sebelum dia
menyentuh najis, kemudian dia membasuh qubulnya, yaitu saluran air
kencing, dan membasuh seluruh zakarnya apabila keluar air madzi. Kemudian
barulah membasuh dubur diikuti dengan mencurahkan air, dan menggosok
dengan tangan kiri. Hendaklah ia membungkukkan badan sedikit kemudian menggosok
(dubur) dengan cermat sehingga menjadi bersih. Tidak dianjurkan
menggunakan tangan kanan.[11]
2.
Menggunakan Air
Air merupakan
alat pembersih utama yang telah disediakan oleh Allah SWT untuk manusia. Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT :
¨,ÅsãÏ9 ¨,ysø9$# @ÏÜö7ãur @ÏÜ»t7ø9$# öqs9ur onÌx. cqãBÌôfßJø9$# ÇÑÈ
Artinya : “ Allah menurunkan air dari langit agar dapat
digunakan untuk membersihkan ”
Air digunakan
sebagai sarana untuk membersihkan diri dari kotoran dan najis seperti dalam
berwudhu dan mandi. Namun dalam makalah ini, penulis hanya terfokus untuk membahas tentang wudhu’.
Macam-macam air
Air dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
a.
Air
bersih dan dapat digunakan untk membersihkan, atau disebut juga air mutlak.
Contohnya seperti air hujan, air sungai, air laut, air mata air, air sumur air
es, dan segala air yang bersih dari kotoran. Syarat penggunaan air tersebut
apabila tidak berubah warna, aroma/bau dan rasanya.
b.
Air
bersih tetapi tidak dapat digunakan untuk membersihkan. Air ini terbagi atas :
1)
Air
yang bercampur dengan sesuatu yang bersih yang dapat mengubah salah satu sifat
air.
2)
Air
yang telah digunakan (air musta’mal) dan ukurannya kurang ( dari 270
liter / 2 kullah).
3)
Air
tumbuh-tumbuhan yang berasal dari bunga atau buah.
c.
Air
yang Terkena Najis
Ialah air yang
terkena najis yang tidak dimaafkan. Terdapat dua jenis air yaitu air yang
bersih terkena najis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya dan air yang
bersih terkena najis, namun berubah sifat-sifatnya. [12]
3.
Tanah
Ialah suatu zat
yang dijadikan alat untuk membersihkan diri dari kotoran dalam bentuk tayammum.
Tanah yang suci dapat dijadikan pengganti ketika tidak ada air, atau tidak
dapat menggunakan air dengan alasan syar’i.
Tayammum
adalah salah satu cara
menghilangkan kotoran dan najis dengan menyentuhkan dua telapak tangan ke tanah
atau debu untuk menyapu muka dan dua tangan.[13]
Adapun cara
melakukan tayammum ialah :
a)
Menurut
Ulama Hanafi dan Syafi’i
Tayammum
dilakukan dengan dua kali tepukan telapak tangan dengan debu. Satu tepukan
untuk mengusap muka, dan satu tepukan lagi untuk mengusap kedua tangan hingga
kesiku. Hal ini berdasarkan hadist :
التَّيَّمَّمُ
ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum adalah dengan dua kali tepukan ke
debu. Satu tepukan untuk mengusap muka dan satu tepukan untuk mengusap kedua
tangan hingga siku”.[14]
b)
Menurut
Ulama Maliki dan Hambali
Tayammum dilakukan dengan kewajiban satu tepukan ketanah, untuk kemudian
diusapkan ke muka dengan bagian dalam jari tanganya, kedua tangan diusap dengan
menggunakan telapak tangan.[15]
4.
Hal-Hal yang Menyebabkan Thaharah
Adapun
yang menyebabkan seseorang wajib melakukan thaharah ialah sebagai
berikut :
1.
Terkena
Najis
Najis ( نَجِسٌ ) secara
bahasa artinya “kotor”. Najis diartikan segala sesuatu yang dianggap kotor oleh
syara’ (hukum islam). Najis dibagi menjadi dua yaitu najis haqiqi dan najis hukmi.
a.
Najis
Haqiqi
Adalah ‘ain atau zat benda yang najis dan pembersihannya
dilakukan dengan air bersih. Najis ini terbagi kedalam beberapa bagian :
1)
Najis
Mughalazzah (Berat)
Adalah
suatu materi yang kenajisann ditetapkan berdasarkan dalil yang pasti (qath’i),
seperti anjing dan babi. Cara menghilangkannya dengan mencuci sebanyak tujuh
kali, satu diantaranya dengan tanah.
2)
Najis
Mutawashitah (Sedang)
Diantaranya
adalah kotoran manusia, kencing, dan kotoran
hewan. Cukup dibersihkan dengan air.
3)
Najis
Mukhaffafah (Ringan)
Ialah
najis-najis yang ringan, diantaranya ialah kencing bayi yang masih meminum Air
Susu Ibu tanpa makanan lain. Cara membersihkannya dengan memercikkan air ke
bagian yang terkena kencing.
b.
Najis
Hukmi
Artinya secara hukum yaitu keadaan seseorang dianggap bernajis
sehingga wajib dibersihkan. Dengan kata lain, ada sesuatu unsur lain yang
melekat pada dirinya, hingga keadaan tersebut yang dianggap bernajis, dan tidak
dibenarkan shalat sebelum membersihkannya. Contoh, junub dan haid dianggap
keadaan yang bernajis hukmi.[16]
2.
Keadaan
Berhadas
Hadas adalah keadaan yang menghalangi seseorang untuk melakukan
ibadah. Hadas terdiri dari dua macam, yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas
kecil adalah suatu keadaan seseorang yang dapat disucikan dengan wudhu
dan tayammum. Orang yang tidak berwudhu disebut orang yang berhadas.
Sedangkan hadas besar adalah suatu keadaan seseorang yang harus disucikan
dengan mandi atau tayammum, seperti orang yang sedang junub dan wanita yang
sedang haid.[17]
untuk materi berikutnya,,, tunggu ajah ya,,,
semoga bermanfaat di jalan allah ,,amin
[1] Rahman
Ritonga, dan Zainuddin,
Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), Cet. Ke-2
hlm.17
[2] Ibid,hal
17
[3] Abbas Arfan, Fiqh
Ibadah Praktis, (Malang : UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 8
[4] Wahbah
Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010), hal.
203
[5] Abu Jayb,
Sa’dy, dalam buku A. Rahmat Ritonga, ibid
[6] Ahmad Thib
Raya, op cit, hlm. 121-122
[7] Abbas
Arfan, op cit hal. 8
[8] Ahmad
Ritongga, ibid, hal. 28-29
[9] Al-Kahlani
dalam buku Rahmat Ritonga, Fiqh Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama),
hal. 27
[10] Musa Kamil, Ahkam
Al-Ibadat, (Dar Al-Fikr, 1991M/1411 H)
[11] Al Qawanin
al-fiqhiyyah dalam buku Wahbah Zuhaili, fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta
: Gema Insani, 2010), hal. 290
[12] Ahmad Thib
Raya, ibid, hal. 130
[13] Ibid, hal.152
[14]
Wahbah Zuhaili, ibid, hal. 494
[15]
ibid
[16] Hasan Ayub, ibid, hal. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar