kali ini saya akan berbagi pengetahuan tentang shalat,, dibawah ini ada makalah kita,, maksudnya teman-teman aku yang berhasil menjadi makalh terbaik based penilaian dosen,, kamu boleh copy and learn ya,, moggo',,,
A.
PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM WAJIB PUASA.
1.
Pengertian
Puasa
Secara etimologi (bahasa), puasa dalam Bahasa Arab berasal dari kata يَصُوْ مُ - صَوْ
مًا- صِيَا
مًا- صَا
مartinya:
menahan, mengekang, diam, berhenti, atau menahan diri dari sesuatu, baik dalam
bentuk perkataan maupun perbuatan[1]. Adapun definisi puasa menurut terminologi
fiqh adalah: “Menahan diri dari makan dan minum serta hal yang membatalkan
puasa mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari.[2]
Puasa adalah ibadah menahan makan dan minum serta hal-hal yang
dapat membatalkannya. Puasa telah dilakukan oleh umat manusia terdahulu. Ketika
Islam datang, puasa pun menjadi salah satu ibadah yang disyariatkan bagi
umatnya. Islam memiliki tuntutan khusus untuk ibadah puasa.[3]
Puasa yang paling sering didengar dan wajib dilaksanakan oleh umat
Islam adalah puasa Ramadhan, yaitu puasa yang dilakukan pada bulan Ramadhan
yakni bulan yang dianggap penuh berkah dan dianggap suci dari bulan-bulan
sebelumnya. Puasa merupakan salah satu pilar dari rukun Islam yang ke-tiga dari
lima rukun Islam.
Defenisi shaum Ramadhan (puasa Ramadhan) adalah tersusun
dari dua kata: shaum dan Ramadhan. Puasa secara bahasa diartikan
menahan secara mutlak, baik dari makan dan minum, bersetubuh, ataupun yang
lainnya. Jadi, orang yang meninggalkan makan, minum, dan bersetubuh dapat
dikatakan berpusa sebab ia menahan diri darinya. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-qur’an surah Maryam (19): 26
Í?ä3sù Î1uõ°$#ur Ìhs%ur $YZøtã ( $¨BÎ*sù ¨ûÉïts? z`ÏB
Î|³u;ø9$# #Ytnr& þÍ<qà)sù ÎoTÎ)
ßN
öxtR
Ç`»uH÷q§=Ï9
$YBöq|¹ ô`n=sù zNÏk=2é& uQöquø9$#
$|Å¡SÎ)
ÇËÏÈ
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat
seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah bernazar
berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan
seorang manusiapun pada hari ini".(Q.S Maryam:
26)
Kata yang kedua adalah Ramadhan. Kata ini berasal dari kata Ar-ramadh
yaitu batu yang panas teriknya matahari. Ibnu
Manzhur mengatakan: “Ramadhan adalah salah satu nama bulan yang telah
dikenal.”
Sedangkan pengertian
puasa menurut istilah ulama fiqh adalah menahan diri dari segala yang
membatalkan sehari penuh mulai dari terbit fajar shadiq hingga terbenam
matahari dengan syarat-syarat tertentu.
Pengertian ini disepakati oleh kalangan Hanafi dan Hanbali. Namun,
kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i menambahkan kata “niat” pada akhir rumusan
pengertian diatas. Sedangkan menurut kalangan mazhab Hanafi dan Hanbali niat
tidak termasuk rukun puasa, melainkan syarat sah puasa sehingga ia tidak
menjadi bagian dari pengertian puasa. Meskipun demikian, barang siapa yang
puasa tanpa niat maka puasanya menurut kesepakatan ulama fiqh tidak sah.[4]
Puasa dalam syariat Islam ada dua macam, yaitu puasa wajib dan
puasa sunat. Puasa wajib ada tiga macam, puasa yang terikat dengan waktu, yaitu
puasa ramadhan selama sebulan. Puasa yang wajib karena ada illat,
seperti puasa sebagai kafarah. Dan puasa seseorang yang mewajibkan pada dirinya
sendiri, yaitu puasa nazar[5].
Sedangkan selain puasa wajib ada namanya puasa sunat, yang sangat dianjurkan
oleh nabi saw, seperti puasa arafah, puasa senin kamis, puasa enam hari pada
bulan syawal, puasa as-syura.
2.
Dasar
Hukum Wajib Puasa
Legalitas
syara’ puasa Ramadhan berlandaskan pada Al-qur’an, sunnah, dan ijma’.
Dalil
dari Al-qur’an adalah firman Allah dalm surah Al-Baqarah (2): 183.
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$#
`ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,”
Orang yang merenungkan ayat tersebut akan menemukan fakta
bahwa Allah telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan dan diiringi dengan
hikmahnya serta ajakan untuk melaksanakan perintahnya-Nya. Perhatikan untuk
seruan jauh dan makna yang dikandungnya, yaitu ketinggian derajat orang-orang
beriman. Selanjutnya perhatikan firman Allah “agar kamu bertaqwa” dan
hikmah-hikmah puasa yang terkandung didalamnya.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa ketika Allah mewajibkan puasa kepada orang-orang
beriman, bukanlah untuk yang pertama kalinya dalam sejarah agama-agama dan bukan pula syariat yang baru, melainkan
Dia telah mewajibkannya terhadap umat sebelumnya aeperti ahli kitab, umat
agama-agama sebelumnya. Demikianlah Allah meringankan dan memudahkan syariat
puasa ini terhadap jiwa orang yang beriman. Sesungguhnya manusia itu jika ia
tahu bahwa ia tidak dibebankan dengan sesuatu yang baru, melainkan yang telah
berlaku sejak dahulu dan dilaksanakan oleh umat sebelumnya maka sesuatu itu
akan menjadi ringan baginya dan termotivasi untuk melaksanakannya.
Selanjutnya, Allah menyebutkan dalam ayat tersebut bahwa
puasa bukanlah suatu ujian dan kesulitan, melainkan suatu latihan (riyadhah)
dan pendidikan, perbaikan, pembersihan, dan pembinaan akhlak. Sehingga ia lulus
dari latihan itu sebagai orang yang memiliki keutamaan dan kesempurnaan, mampu
mengendalikan hawa nafsunya. Hal itu karena orang yang berpuasa telah mampu
berpaling dari segala sesuatu yang mubah, maka ia tentu lebih mampu
meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan. Orang yang terbiasa meninggalkan
makanan dan minuman yang halal dan nikmat karena menjalankan perintah Allah,
bagaimana mungkin mau mendekati makanan dan minuman serta jalan hidup yang
diharamkan, najis, keji dan dimurkai oleh Allah? Oleh karena itu, Allah
berfirman: “Agar kamu bertaqwa”
Adapun dalil dari sunnah yang
menjelaskan kewajiban puasa Ramadhan adalah sebagai berikut:
1.
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Umar bin khathtab, ia berkata: “Aku pernah
mendengar Rasulullah bersabda:
بُنِيَ
ا لْإِ سْلاَ مُ عَلَ خَمْسٍ شَهَا دَ ةِ أَ نْ لاَ إِ لَهَ إِ لآَّ ا للَّهُ وَ
أَ نَّ مُحَمَّدً ا رَ سُو لُ ا للَّهِ وَ إِ قَا مِ ا لصَّلاَ ةِ وَ إِ يَتَا ءِ
ا لزَّ كاَ ةِ وَ ا لْحَجِّ وَ صَوْ مِ رَ مَضَا نَ
“Islam
dibangun diatas lima pilar: kesaksian bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan
Muhammad utusan Allah, melaksanakan shalat, puasa Ramadhan, menunaikan zakat, dan
haji.”
Hadits diatas menunjukkan wajibnya
puasa Ramadhan secara jelas dan tegas, tidak ada keraguan dan kekaburan
maknanya. Imam An-Nawawi menerangkan makna hadis ini bahwa “barang siapa
yang telah melaksanakan lima rukun Islam ini, berarti Islamnya telah sempurna.”
Sebagaimana rumah dapat berdiri tegak sempurna dengan terpenuhi tiang-tiangnya,
begitu pula Islam dapt berdiri tegak dan kokoh dengan terpenuhi rukun-rukunnya.
2.
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari dari Ibnu Umar ia berkata: aku pernah mendengan rasulullah
bersabda:
إِ
ذَا رَ أَ يْتُمُو هُ فَصُو مُوا وَ إ ذَ ا رَ أَ يْتُمُو هُ فَأَ فْطِرُ وَ ا
فَإِ نْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَا قْدُ رُ و ا لَهُ.
“Jika
kalian melihatnya (Hilal), laka puasalah, dan jika kalin melihatnya maka
ber-Idul Fitrilah. Jika ia tertutup
B.
SYARAT-SYARAT WAJIB DAN RUKUN PUASA
1.
Syarat-Syarat
Puasa
a.
Syarat-syarat
wajib puasa
Syarat-syarat wajib puasa dalam mazhab syafi’i ada lima, yaitu:
1)
Islam,
seseorang tersebut harus beragama Islam jika ia hendak melakukan puasa.
2)
Mukallaf
(dewasa dan berakal sehat)
3)
Iithaqah
(mampu/ kuat)
4)
Sehat
5)
Iqamah
(bukan musafir).
b.
Syarat
sah puasa
Syarat-syarat sahnya puasa dalam mazhab syafi’i ada empat, yaitu:
1)
Islam
2)
Berakal
sehat
3)
Suci
dari haid atau nifas
4)
Mengetahui
bahwa sudah wajib atau sunnah berpuasa pada saat itu (tahu sudah masuk waktu
berpuasa).[7]
2.
Rukun
puasa
Rukun puasa ada tiga yang menjadi komponen pembentuk hakikatnya,
yaitu sebagai berikut:
1)
Niat, niat yaitu tekad bulat hati untuk berpuasa sebagai
aktualisasi pelaksanaan perintah Allah dan pendekatan diri kepada-Nya.
2)
Mencegah diri dari segala yang membatalkan
mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Rukun ini telah
disepakati bulat oleh para imam, termasuk
kalangan ulama mazhab Syiah
Ja’fariyyah, berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2):187
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ª!$# öNà6¯Rr& óOçGYä. cqçR$tFørB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçų»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tF2 ª!$# öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@ø©9$# 4 wur Æèdrçų»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ßrßãn «!$# xsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ã ª!$# ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 cqà)Gt ÇÊÑÐÈ
Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka
adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf”.(Al-baqarah: 187)
3)
Pelaku
puasa (ash-sha’im), yaitu orang yang sah berpuasa, dalam artian telah memenuhi
syarat-syarat wajib puasa, antara lain Islam, akil baligh, mampu berpuasa, dan
bebas dari halangan syara’ seperti haid dan nifas bagi kaum perempuan.[8]
C.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Berikut ini beberapa hal yang dapat
membatalkan puasa diantaranya sebagai berikut:
1.
Memasukkan
suatu benda dari luar tubuh kedalam tubuh secara sengaja, baik berupa makan
maupun bukan makana. Misalnya, asap rokok, melalui bagian tubuh yang berlubang,
antara lain lewat hidung.
2.
Muntah
dengan sengaja, orang yang sedang berpuasa ingin dan berusaha memuntahkan isi
perutnya, lalu ia muntah dengan sengaja maka ia wajib mengqadha puasanya. Jika
ia muntah tanpa sengaja dan tanpa upaya, melainkan terdorong keluar dengan
sendirinya tanpa keinginannya maka hal itu tidak merusak puasanya.
3.
Haid
dan nifas, jika seseorang wanita mengalami haid atau nifas (persalinan) disiang
hari bulan Ramadhan, lalu ia terus melanjutkan puasa dan tidak membatlkannya
maka puasanya tidak sah.
4.
Itimna’
, yaitu keluarnya sperma akibat hubungan seksual meskipun dalam
bentuk perzinahan.
5.
Gila
dan pingsan, barang siapa yang berniat pusa, lalu ia mendadak gila atau tidak
sadarkan diri sepanjang siang dan tidak kunjung sadar pada sebagiannya maka
puasanya tidak sah.
6.
Murtad,
yaitu keluar dari Islam dengan pernyataan, perbuatan, atau kayakinan.
7.
Jika
orang puasa makan, minum, atau senggama dengan anggapan hari masih malam, namun
ternyata hari sudah siang (sudah masuk waktu fajar) maka menurut jumhur ulama,
termasuk empat imam mazhab, ia wajib mengqadha.
8.
Memutuskan
niat, meskipun tidak makan dan minum. Barang siapa berniat buka puasa, namun
tidak juga berbuka (makan dan minum), sementara ia berpandangan bahwa memutus
niat tidak membatalkan puasa, maka puasanya tidak batal. Namun, jika ia
melakukan hal tersebut tanpa interpretasi demikian, maka puasanya batal.[9]
D.
KETENTUAN-KETENTUAN YANG MEWAJIBKAN QADHA, DAN FIDYH SERTA KAFFARAH.
1.
ketentuan Qadha’ puasa Ramadhan
Mengqadha’
puasa ramadhan tidak wajib dilakukan dengan segera. Mengqadha’ puasa Ramadhan
memang diwajibkan ,ia juga memiliki kelapangan waktu sesuai dengan kondisi
seseorang. Demikian halnya dengan membayar kafarat.
Dalam sebuah
hadits sahih yang bersumber dari Aisyah, bahwasanya dia pernah mengqadha’ puasa
Ramadhan yang pernah ditinggalkan. Dia mengqadha’nya di bulan Sya’ban dan tidak
mengqadha’nya dengan segera, padahal dia bisa melakukannya.
Mengqadha’
sama halnya dengan mengerjakan ibadah secara langsung sesuai dengan waktuya.
Dengan kata lain, orang yang meninggalkan puasa beberapa hari, hendaknya
menggantinya sebanyak hari yang ditinggalkan itu, tanpa ada tambahan yang lain.
Yang menjadi perbedaan antara qadha’ dengan pelaksanaan langsung adalah bahwa
qadha’ tidak perlu dilakukan dengan segera, hal ini berdasarkan firman Allah
swt.
$YB$r& ;Nºyrß÷è¨B 4 `yJsù c%x. Nä3ZÏB $³ÒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r&
tyzé& 4 n?tãur úïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜã ×ptôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB ( `yJsù tí§qsÜs? #Zöyz
uqßgsù ×öyz ¼ã&©! 4 br&ur (#qãBqÝÁs? ×öyz öNà6©9 ( bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ
“ (yaitu) dalam beberapa hari yang
tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan” (Al-Baqarah [2]: 184)
Dengan kata
lain, orang sakit atau bepergian lalu berbuka, hendaknya berpuasa sebanyak hari
yang telah ditinggalkan. Hal ini boleh dilakukan secara berturut-turut ataupun
tidak. Dalam hal ini, Allah memberi kebebasan dan tidak memberi ketentuan
secara berurutan.
Daraquthni
meriwayatkan dari Ibnu Umar ra., bahwasanya Rasulullah bersabda mengenai cara
mengqadha’ puasa Ramadhan,
إنْ شَاءَ
فَرَّ قَ, وَإِنْ شَاءَ تَا بَعَ
“ Jika mau, dia boleh
melakukannya secara terpisah. Dan jika mau, dia boleh melakukannya secara
berurutan.”
Jika seseorang menagguhkan dalam mengqadha’ sampai bulan Ramadhan
yang erikutnya tiba, hendaknya dia puasa untuk bulan Ramadhan yang baru tiba
dan setelah itu, hendaknya dia mengqadha’ puasa yang ditinggalkan pada tahun
sebelumnya dan tidak diwajibkan membayar fidyah, baik penangguhan tersebut
disebabkan adanya halangan ataupun tidak. Pendapat ini dikemukakan dalam mazhab
Hasan al-Bashri dan mazhab Hanafi.
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq setuju dengan mazhab Hanafi bahwa
tidak ada kewajiban membayar fidyah jika penangguhan tersebut disebabkan adanya
halangan. Tapi, mereka berbeda pendapat denga mazhab Hanafi, jika penangguhan
tersebut dilakukan bukan karena adanya halangan. Menurut mereka, hendaknya
orang yang mengqadha’ puasa padaa bulan Ramadhan yang sedang dijalani ,
kemudian mengqadha’ puasa yang ditinggalkan pada tahun sebelumnya disertai
membayar fidyah, yaitu dengan memberi makan kepada orang miskin sebanyak satu
mud setiap hari sebanyak jumlah puasa yang ditinggalkan. Meskipun demikian,
mereka tidak mengemukakan dalil yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh
karena itu, menurut pendapat mazhab Hanafi, dan pendapat ini termasuk pendapat
paling kuat, tidak ada kewajiaban dalam syariat yang harus dilakukan tanpa berlandaskan
pada dalil yang sahih.[10]
Qadha' adalah
berpuasa dihari lain di luar Ramadhan sebagai pengganti dari puasa yang
ditinggalkan pada bulan Ramadhan.Yang wajib mengqadha' (mengganti ) puasa di
hari lain adalah :
a.
Seseorang yang lupa niat dimalam
hari.
b.
Wanita yang mengalami haid dan nifas.
c.
Orang sakit yang masih ada harapan
untuk disembuhkan.
d.
Wanita hamil dan menyusui.
e.
Orang yang bepergian ( Musafir ).
2.
Orang yang membatalkan puasa akibat
disengaja seperti muntah.
Orang yang membatalkan
puasa akibat disengaja dia salah satunya dia harus membayar fidyah. Fidyah
adalah memberi
makan kepada fakir miskin sebagai ganti dari tidak berpuasa. Orang yang dibenarkan membayar fidyah adalah:
a.
Orang sakit yang menurut dokter ahli
sulit untuk disembuhkan.
b.
Orang tua yang lemah dan tidak mampu
lagi berpuasa.
c.
Wanita hamil atau menyusui yang
tidak berpuasa karena khawatir kesehatan bayinya apabila dia berpuasa.
d.
Orang yang meninggalkan kewajiban
mengqadha' puasa Ramadhan tanpa udzur syar'i hingga Ramadhan tahun berikutnya,
maka dia wajib meng-qadha' puasanya sekaligus membayar fidyah.
3.
Seseorang yang meninggal dunia dan
masih mempunyai tanggungan puasa
Apabila
seseorang meninggal dunia, sedangkan dia masih mempunyai tanggungan untuk
mengqadha’ shalat yang pernah ditinggalkan, menurut ijma’ ulama, tidak seorang
pun dibolehkan mengqadha’kan shalat yang ditinggalkannya, baik wali (orang yang
masih memiliki hubungan darah) maupun orang lain. Demikian pula, seseorang yang
tidak mampu berpuasa, tidak seorang pun yang dibolehkan menggantikan puasanya
jika dia masih hidup. Tapi, jika dia sudah meninggal dunia, sedangkan dia masih
mempunyai tanggungan untuk menqadha’ puasa yang pernah ditinggalkan, dan
sebelum kematiannya dia tidak mampu untuk puasa, dalam hal ini, para ulama
berselisih pendapat mengenai hukumnya. Menurut mayoritas ulama, diantaranya Abu
hanifah, Malik, dan Syafi’i dan ini termasuk pendapat yang masyhur, keluarganya
tidak dibolehkan menggantikan puasa, namun dia diharuskan memberikan satu mud
makanan untuk setiap hari, sebanyak hari yang ditinggalkan.
Pendapat
yang kuat menurut mazhab Syafi’i, keluarganya dianjurkan menggantikan puasa
seseorang yang meninggal dunia supaya si orang yang sudah meninggal dunia
terbebas dari kewajiban. Dan keluarganya tidak perlu membayar fidyah dengan
memberikan makanan (kepada fakir miskin). Masuk dalam kategori wali adalah
sanak kerabat, baik kedudukannya sebagai ashabah (ahli waris utama,
seperti anak) atau ahli waris biasa atau yang lainnya.
Seandainya
ada orang lain yang bersedia menggantikan puasanya, maka apa yang dilakukannya
sah jika mendapat persetujuan dari keluarganya. Jika tidak, maka puasanya tidak
sah. Para ulama berpedoman pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari,
dan Muslim dari Aisyah, bahwa Rasulullah bersabda,
مَنْ مَا تَ, وَعَلَيْهِ صِيَا مٌ,
صَا مَ عَنْهُ وَلِيُّهُ.
“Siapa yang
meninggal dunia sedangkan dia masih mempunyai kewajiban puasa, hendaknya wali
(keluarga)nya menggantikan puasanya.
Imam
Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, bahwa seorang laki-laki menemui Rasulullah lalu bertanya,
wahai Rasulullah, ibuku sudah meninggal dunia, padahal dia masih mempunyai
kewajiban untuk membayar puasa selama satu bulan, apakah aku diperbolehkan
untuk menggantikannya? Beliau bersabda, “ seandainya ibumu mempunyai hutang,
apakah engkau juga membayar hutangnya?” Dia menjawab , iya. Rasulullah saw.
Lantas bersabda,
فَدَ يْنَ اللّه أَ حَقُّ أَنْ يُقْضَئ
“Maka hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”
Imam Nawawi berkata, “pendapat inilah yang
benar dan terkuat yang juga menjadi pegangan para ulama fikih. Pendapat ini
diakui sebagai pendapat yang paling kuat.[11]
4.
Beberapa hal yang membatalkan puasa
dan mewajibkan qadha dan kaffarah adalah:
a.
Berhubungan badan
Orang yang menyetubuhi orang lain yang masih hidup dan
diinginkan biak dikemaluan atau didubur dan dilakukan pada saat puasa Ramadhan,
ia wajib mengqadha dan membayar kaffarah meski tidak sampai mengeluarkan air
sperma. Hukuman tersebut berlaku untuk pelakunya dan objeknya. Sementara Syafi’i
menyatakan kaffarah hanya untuk pelakunya saja.
b.
Memakan sesuatu yang membatalkan
puasa dengan sengaja
Semua fuqaha, sebagaimana telah kita ketahui, sepakat
bahwa hubungan badan disiang hari pada bulan Ramadhan ada qadha dan
kaffarahnya. Sedangkan mereka berbeda pendapat tentang selain hubungan badan
yang termasuk hal-hal yang membatalkan puasa. Sebab perbedaan pendapat mereka
adalah beberapa tentang putusan kaffarah sebagaimana berkenan dengan hubungan
badan dan ada yang hanya berkenaan dengan orang yang tidak berpuasa. Karena
itu, fuqaha Ahnaf menyatakan bahwa semua yang ditelan oleh orang yang berpuasa
yang berguna bagi badan misalnya makanan, minuman, obat atau sesuatu yang
disenangi seperti rokok, narkotika, ganja, menelan air liur istri untuk
kenikmatan atau untuk menuntaskan nafsu seperti berhubungan badan wajib diqadha
dan membayar kaffarah. Hal serupa juga dikemukakan oleh fuqaha Malikiyah.
Adapun Syafi’i, Ahmad dan Dawud ahli zahir membatasi
kaffarah hanya untuk hubungan badan saja dengan syarat-syarat sebelumnya.
c.
Mengonsumsi benda-benda yang
membatalkan puasa sementara yang
bersangkutan mengira hal itu boleh.
Fuqaha Ahnaf dan Malikiyah (berdasarkan kaidah mereka)
berpendapat, siapapun yang mengonsumsi benda-benda yang membatalkan puasa
seperti yang disebutkan sebelumnya secara sengaja dan mengira bahwa hal itu
boleh karena suatu sebab, ulama sepakat hal tersebut tidak membatalkan puasa
hanya saja yang bersangkutan wajib mengqaadha dan membayar kaffarah seperti seseorang
berdusta, melakukan ghibah atau meminyaki kumisnya dan dikira hal itu
membatalkan puasa kemudian ia makan dan minum karena sengaja menakwilkan secara
jauh.
Beberapa hal yang menggugurkan kaffarah, yang pertama
adalah munculnya sesuatu yang membolehkan untuk tidak puasa pada hari yang sama
seperti haid, nifas, sakit, gila dan bepergian. Kedua adalah adanya syubhat
yang menggugurkan dan membatalkan kaffarah seperti sengaja menakwilkan secara
dekat[12]
ETIKA
BERPUASA
Ketika berpuasa, seseorang dianjurkan memperhatikan
sekaligus memperhatikan
etika sebagai berikut:
1.
Berniat puasa
pada malam hari. Niat dalam menjalankan ibadah adalah hal penting yang sangat
menentukan kualitas dan nilai ibadah seseorang.
2.
Ikhlas dalam
menjalankan puasa.
3. Makan
sahur malam harinya. Karena makan sahur merupakan syi’ar puasa, terlebih lagi
pada bulan Ramadhan.
4. Mengakhirkan
makan sahur.
5. Menyegerakan
Berbuka, dianjurkan bagi orang berpuasa untuk menyegerakan berbuka, apabila
matahari sudah terbenam.
6. Tidak
berlebihan dalam makan sahur dan berbuku puasa.
7.
Mengawali
berbuka dengan kurma atau Air putih.
8.
Berdo’a sesaat
sebelum dan sesudah berbuka.
9.
Perbanyak amal
kebajikan selama berpuasa.
10
Jauhi perbuatan
maksiat dan dosa.
11
Hindari berkumur
secaara berlebihan.
12
Menyempurnakan
puasa jika terlupa makan dan minum.
13
Menghindari
makan dan minum didepan orang sedang berpuasa.
G.
HIKMAH PUASA
Hikmah puasa
yang dapat dirasakan oleh orang yang melaksanakan adalah:
1). Puasa
membiasakan manusia agar takut terhadap Allah baik secara rahasia maupun
terang-terangan.
2). Puasa
menundukkan keganasan hawa nafsu dan menjadikan diri mampu menguasainya sesuai
syariat.
3). Puasa
membiasakan empati dan kasih sayang terhadap kaum fakir miskin dan segera
memberikan bantuan. Ia memperbaiki dirinya dengan amal shaleh. Dengan puasa ia
merasakan lapar dan haus.
4). Puasa
menghilangkan zat-zat merugikan yang mengendap dalam tubuh, terutama dalam
tubuh orang-orang yang terbiasa hidup mewah karena mereka kurang aktivitas.
5). Sebagian
ilmuan Eropa mengatakan, puasa satu bulan penuh dalam setahun dapat
menghilangkan sisa-sisa zat makanan yang tidak berguna yang menggumpal dalam
tubuh selama satu tahun.
6). Puasa
melatih kesabaran, dan kesabaran merupakan jalan menuju takwa.[16]
nah,, demikian pembahasan nya teman,, kalo untuk menyimpulkan,, kamu pasti bisa deh,, semoga bermanfaat ya
[1]
Ahmad Warson
Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Ponpes Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta, Hal. 482 Dalam Buku Winarno2013.
[2] Abbas Arfan, Fiqh
Ibadah Praktis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), 125.
[5] Ibnu Rusyd, budiyatul
Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 634
[6]Abdul Aziz
Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, (Jakarta: AMZAH,
2010), hal 438.
[7]
Arfan, fiqh.
.., hal. 128.
[8]
Azzam dan
Hawwas, Fiqh. .., hal. 459.
[9]
Azzam dan
Hawwas, Fiqh. .., hal. 463-470.
[11]Sabiq,
Sunnah. .., hal. 280-281
[12]
Hasan Ayub, Fikih
Ibadah, ( Jakarta:Cakra Lintas Media,2010) Hal. 440
[13] Sabiq,
Fikih. .., hal. 244-251
[14] Sulaiman
Rajid, Fiqh Islam, (Bandung: sinar baru Algensindo, 2012) hal. 220
[15]
Samsul Munir
Amin Dan Haryanto Al-Fandi, Etika Beribadah, (Jakarta: AMZAH, Sinar
Grafika Offset) Hal 145-161.
[15] Azzam
dan Hawwas, Fiqh. .., hal 440-444
Tidak ada komentar:
Posting Komentar