Tampilkan postingan dengan label hadits ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hadits ekonomi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 Februari 2015

jual beli yang dilarang dalam islam

JUAL BELI YANG DILARANG

Diantara jual beli yang dilarang dalam Islam adalah sebagai berikut :
a.      Jual beli Najasyi
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنْ رَسُوْلُ اللهِ ص.م نَهَى عَنِ النَّجْشِ وَفِى لَفْظٍ وَلاَ تَنَاجَشُوا (رواة البخارى)
dari ibnu umar ra : Rasulullah SAW melarang jual beli dengan cara najasyi dalam lafaz yang lain dikatakan “janganlah kamu sekalian melaukukan jual beli dengan cara najasyi

Dalam konsepnya, najasyi berarti provokasi yaitu persengkongkolan / kerjasama penjual dengan pihak lain yang diajak untuk menyengaja atau merencanakan sebuah cara untuk menarik minat orang-orang dipasar (calon pembeli) dengan tidak baik.

Ada beberapa modus atau faktor yang mendorong terjadinya najasyi yaitu :
1.      Agar dapat meraup keuntungan yang sebesar-besarnya
2.      Agar produk yang ditawarkan laku dan laris dengan cara meninggikan harga

Jadi, jual beli najasyi adalah jual beli yang dilakukan dimana penjual melakukan perbuatan menipu dengan cara bersengkongkol dengan pihak ketiga yang berpura-pura membeli barang yang ditawarkan penjual dengan harga yang tinggi sehingga orang lain juga tertarik untuk membeli barang tersebut.

Dalam tatanan kehidupan sekarang yang disebut modernisasi, dan maju, najasyi dapat terlihat dari contoh penjualan dengan sasaran iklan/promosi. Maksudnya, untuk melariskan produk yang ditawarkan kepasar, seringkali produsen mengiklankan produknya baik melalui media cetak, elektronik maupun online. Namun, tidak semua iklan dikatakan najasyi, kecuali terdapat indikator penipuan. Misalnya iklan shampo menjadikan rambut lurus setelah 1 hari pemakaian, pada kenyataannya tidak demikian. Maka ini kemungkinan dikatakan najasyi.

b.      Jual beli mutlaqah
عَنْ إبْدِالله بْنُ عُمَرَ أَنْ رَسُولُ اللهِ ص.م نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرِ حَتَّى يَبْدُ وَصَلَى حُهَا نَهَى البَائِعَ وَالْمُبْتَاعَ
dari Abdullah BIN Umar ra bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan sebelum tampak kematangannya, beliau melarang penjual dan pembelinya”(HR. BUKHARI DAN MUSLIM)

Jual beli mutlaqah terjadi ketika objek yang akan diperjualbelikan (buah-buahan) tersebut sudah hampir matang, sudah bisa untuk dimanfaatkan, kemudian lakukan akad jual beli dan serah terima uang, namun penjual memetiknya apabila buaha-buahan tersebut suda matang.

c.       Jual beli muzabanah

bentuk “za ba na” berarti anggur. Pada zaman rasulullah dan jahiliyah terdapat jual beli anggur basah dengan anggur kering. Namun setelah rasulullah menerima wahyu dan haditsnya pun menyatakan melarang jual beli terebut karena pertukaran tersebut memiliki ukuran dan takaran yang berbeda meski jenis sama.


d.      Jual beli mulamasah dan munabadzah
Mulasamah bearti menyentuh.

عَنْ أَبِي سَعِيْد الخُدْرِي رضي الله عَنْهُ أَنَ رَسُوْلُ الله ص.م : نَهَى عَنِ المُنَابَذَةِ وَهِيَ طَرْحُ الرَجُلِ ثَوْبَهُ بِاالبَيْعِ إِلَى الرَّجُلِ قَبْلَ أَنْ يُقَلَّبَهُ أَوْ يَنْزُرَ اِلَيْهِ وَ نَهَى عَنِ المُلاَمَسَه وَالمُلَامَسَه و المُلَا مَسَه لَيْسَ الثَوْب لاَ يُنْظُ اِلَيْه
Dari abu said al khudriy ra bahwa rasulullah Saw  melarang munabazah, yaitu seseorang melemparkan kainnya kepada seseorang ketika menjualnya, sebelum dia membalik kain itu. Beliau juga melarang mulasamah yaitu seseorang menyentuh kain tanpa memeriksanya. (hadits bukhari muslim)

Alasan dilarangnya jual beli ini karena tidak adanya hak salah satu pihak untuk melakukan khiyar

e.       Jual beli hashah
Maksudnya jual beli dengan melemparkan batu, seseorang berhak atas sebuah objek jual beli dengan membayar sejumlah tertentu atas tanah berdasarkan dekat atau jaunya lemparan.
f.       Jual beli ghisy
Jual beli yang penuh dengan tipuan / trik. Bedanya dengan gharar yaitu pada gharar tidak ada kejelasan tentang kualitas, bentuk dan ukurannya. Sedangkan pada ghisy sudah diketahui bentuk ukuran dan kualitas.
 Contoh jual beli ghisy :
      Beli duku dipasar, kemudian dicicipi satu buah duku yang manis, ternyata pas dibungkus duku tersebut dicampur oleh penjual dengan duku yang asam/kulitas berbeda.


Selasa, 06 Januari 2015

pengantar hadits ekonomi

berikut adalah hasil perkuliahan saya pada mata kuliah hadits ekonomi, yang saya simpulkan bersama makalah-makalah dan ulasan dosen,, yang insyallah bermanfaat. 

A.    Pengertian Hadits, Sunnah, Atsar dan Khabar
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan dan/atau bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik itu berupa perkataan/ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat atau sirrah beliau yang terjadi pada situasi/keadaan / masa sesudah beliau diangkat menjadi rasul allah, yaitu pada saat usia beliau 40 th hingga 63 th (wafat nabi)
Sedangkan sunnah sama dengan hadits, tetapi perbedaannya adalah pada pemberlakuannya, segala hal yang disandarkan kepada nabi, perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang terjadi sejak nabi lahir hingga beliau wafat.
artinya SETIAP HADITS ADALAH SUNNAH DAN SETIAP SUNNAH BELUM TENTU HADITS

            Atsar adalah segala perkataan, dan perbuatan yang bersumber dari sahabat dan tabi’in. Sedangkan khabar adalah segala perbuatan yang bersumber dari nabi muhammad,, dan atau sahabat atau tabi’in, artinya khabar lebih umum dari atsar.
B.     Jenis-Jenis Hadits
1.      HADITS QAULIYAH
YAITU perkataan nabi yang berisi berbagai tuntutan dan petunjuk syara’
Contoh hadits qauliyah :
نَضَّرَاللهُ امْرَاءً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَةٌ حَتَّى يُبَلِّعُهُ غَيْرُهٌ فَاِنَّهُ رَبِّ حَمِلٍ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ وَرَبُّ حَمِلٍ فِقْهِ اِلَى مَنْ هُوَ أًفْقًهُ مِنْهُ ثَلَاثٌ خِصَّالٍ لاَ يَغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ اَبَدًا اِخْلَاصٌ العَمَلِ لَلّهِ وَ مُنَّا صَحَةً وَلاَةِ اْلاَمْرِ وَلُزُوْمُ الجَمَاعَةِ فَاِنَّ دَعْوَتَهُمْ تُحِيْطٌ مِنْ وَرَئِهِمْ (رواة أحمد)
“Semoga allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataan dariku kemudian menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain, kerena benyak orang berbicara tentang fiqh padahal ia bukan ahlinya. Ada tiga sifat yang sebenarnya tidak akan timbul rasa dengki dihati seorang muslim yaitu beramal semata-mata kepada allah, menasehati taat, patuh kepada penguasa dan setia terhadap jamaah karena sesungguhnya doa mereka memberikan motivasi dan menjaganya dari belakang”(HR. AHMAD)
2.      HADITS FI’LIYAH
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ أَبِيْ عَبْدِاللهِ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَ بْنُ أبِيْ كَثِيْرِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنُ عَبْدِالرَّحْمَنِ عَنْ جَابِرِبْنُ عَبْدِاللهِ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م يُصَلِّى عَلَى رَأَحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَ جَّهًتْ فَاِذَ أَرَدً الَفِضَةً نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ اْلقَبْلَةَ
Artinya : “telah menceritakan kepada kami muslim bin ibrahim, ia berkata telah menceritakan kepada kami hisyam ibn abi abdillah telah menceritakan kepada kami yahya bin abi kasin dari muhammad inb abdirrahman dan jabir bin abdillah ia berkata : adalah rsaulullah shalat diatas tunggangannya menghadap kemana arah tunggangannya menghadap, jika beliau hendak melaksanakan shalat yang fardhu, maka beliau turun dan lalu shalat menghadap kiblat”

3.      HADITS TAQRIRIYAH

Yaitu segala sesuatu yang bersumber dari nabi muhammad Saw berupa ketetapan-ketetapannya seperti hadits yang mengisyaratkan “diamnya nabi terhadap para sahabat yang memakan daging dhab, tetapi beliau juga menolak memakan daging yang ditawarkan sahabat.

Rabu, 17 Desember 2014

hadits tentan khiyar

عَنْ عَمْرِ إبْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ ص.م قال : اْلبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا إِلَّى أَنْ تَكُوْنَ صَفْقَةَ خِيَارِ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُّفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيْلَهُ
Dari ibnu umar ibn syuaib dari ayahnya dari saya mendengar rasulullah bersabda : pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah kecuali jual beli dalam akad khiyar maka salah seorang diantara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya kerena khawatir dibatalkannya
عَنْ أَبِي هُرَيْرَه ر.ض عَنِ النَّبِيِّ ص.م قَالَ : مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلَا فَهَا أَتْلَافَهُ اللهُ  (روات بخارى)

Dari abu hurairah ra bahwasanya rasulullah saw bersabda : barang siapa yang meminjam harta manusia dengan keinginan hendak membayarnya maka allah akan membayarnya dan barangsiapa yang meminjam karena hendak melenyapkannya atau tidak ingin membayarnya allah akan melenyapkan hartanya. (HR bukhari)

Jumat, 28 November 2014

salam dan rahn

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pelaksanaan Salam
1.      Pengertian Salam
Secara bahasa, al-salam berarti al-salaf (terdahulu,al-taqdim). Menurut al-juzairi, penduduk Hijaz menggunakan istilah al-salam, sedangkan penduduk Irak menggunakan istilah al-salaf. Disamping itu, ada juga ulama yang menyebutnya bay al-mahawij (jual beli yang dilakukan oleh orang-orang fakir atau miskin). Disebut demikian karena penjual tidak memiliki modal sehingga harus dibayar dulu uangnya oleh pembeli, padahal benda yang dijual belum ada.
Sedangkan pengertian al-salam secara istilah ulama berbeda-beda pendapat dalam menjelaskannya. Menurut Hanafi al-salam adalah penjualan yang penyerahan objek akadnya dikemudian hari, sedangkan pembayaran benda tersebut dilakukan secara tunai.
Jadi, definisi al-salam secara rinci adalah jual beli benda dengan menyebutkan sifat-sifat benda yang menjadi objek akad dengan harga yang disepakati pada waktu akad, sedangkan benda yang menjadi objek penjualan akan diserahkan dikemudian hari.[1]
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar (untung-untungan).[2] Allah Ta’ala berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Kebolehan jual beli salam ini dikuatkan dengan hadis riwayat Bukhari, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ) (رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ )
“Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa melakukan salaf dalam buah-buahan untuk masa setahun, dua tahun dan tiga tahun. Maka beliau bersabda: “Barangsiapa  melakukan salaf dalam sesuatu, maka hendaklah dia melakukannya dalam takaran, timbangan, dan sampai waktu tertentu.”  (HR.Bukhari ).[3]

2.      Syarat-syarat Barang yang Dijual Salam
            Sesuatu barang atau benda hendak dijual secara salam itu disyaratkan :
a.         Boleh dianggarkan sifatnya, artinya ada sifat-sifat yang boleh dibuat anggaran.
b.         Tidak bercampur dengan benda-benda lain yang menyebabkan sukar hendak membuat anggarannya.
c.         Barang itu hendaklah tertentu (jelas). Tidak boleh seperti kata penjual : “Saya jual salam kain ini kepada saudara.”
d.        Barang itu hendaklah sesuatu yang memenuhi syarat sah dijual beli.

3.      Syarat-syarat Sah Akad Jual Salam
Syarat-syarat sah akad jual-beli salam ialah :
a.       Hendaklah dijelaskan jenis dan sifat-sifat penting bagi barang yang hendak dijual itu.
b.      Hendaklah dijelaskan juga kadarnya.
c.       Hendaklah ditetapkan masa tempo untuk mendapatkannya.
d.      Hendaklah barang itu boleh didapati bila sampai tempo yang ditetapkan.
e.       Hendaklah barang itu biasa didapati, bukan jarang-jarang didapati.
f.       Hendaklah ditetapkan tempat menerimanya.
g.      Hendaklah dibayar tunai harganya.
Akad jual beli ini terus berjalan kuat kuasanya, artinya tidak sah jika disyaratkan khiar. Sebagai Peringatan, Bila diserah barang itu sebagaimana yang disifatkan di dalam akadnya atau lebih baik lagi, wajiblah menerimanya. Kalau barang itu terkurang dari apa yang telah disifatkan, harus menerimanya, tetapi tidak wajib.[4]



B.       Pelaksanaan Rahn
1.      Pengertian Rahn (Gadai)
Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng), dan bisa juga berarti al-ihtibas, wa al-luzum, (tertahan dan keharusan). Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.[5]
Jadi, gadai (rahn) adalah suatu barang yang dijadikan sebagi jaminan utang, yang dipegang oleh pihak yang berpiutang, bila yang berhutang tidak sanggup membayar hutangnya, maka barang yang dijadikan sebagai jaminan tadi bisa diambil dan menjadi hak si piutang.
2.      Landasan Disyariatkannya Gadai:
Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:
1.      Al-Qur’an

سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”          (QS. Al-Baqarah: 283)
Maksud ayat diatas adalah jika seseorang dalam perjalanan, kemudian dia berhutang, sedang dia tidak menemukan seorang penulis yang mencatat transaksinya. Sebagaimana pendapat dari Ibnu Abbas : “ atau dia memperolehnya namun tidak ada kertasnya atau tintanya atau penanya maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh orang yang mengutangkan[6].
2.       Al-Hadits
طَعَامًا شْتَرَى ا وسلم عليه اللهصلى  النَّبِىَّ أَنَّ عنها اللهرضى عَائِشَةَ عَنْ
  حَدِيدٍ مِنْ دِرْعًا وَرَهَنَهُ أَجَلٍ إِلَى يَهُودِىٍّ مِنْ 

“Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari dan Muslim).

 دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ صلى الله عليه وسلم لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ :قال ضى الله عنه عَنْ أَنَسٍ
عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ

“Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari).
3.      Ijma’ (konsensus) para ulama:

Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka berbeda pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan tidak dalam perjalanan. Akan tetapi, pendapat yang lebih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua
keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar atau tidak dalam perjalanan.[7]

C.      Pemanfaatan Barang Rahn
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, فَهُوَ رِبًا )  رَوَاهُ اَلْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ, وَإِسْنَادُهُ سَاقِطٌ
“Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba." (Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah).
Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba.
Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba, demikianlah hukum asal pegadaian.
Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut.
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ ).  (رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ)ُ
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar." (Riwayat Bukhari).
Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.[8]
Pada dasarnya terdapat dua pendapat mengenai kebolehan gadai (rahn),  jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan barang gadaian, sedangkan ulama syafi’iyah membolehkan sejauh tidak memudharatkan murtahin. Uraiannya adalah sebagai berikut :
1.         Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin murtahin. Begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizing rahin.mereka beralasan bahwa barang harus tetap dikuasai murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan ulama Hanabilah sebab manfaat yang ada dalam barang gadaian pada dasarnya termasuk rahn.

2.         Ulama Malikiyah berpendapat jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan barang gadaian, akad menjadi batal. Adapun murtahin dibolehkan memanfaatkan barang gadaian sekedarnya. Sebagian ulama Malikiyah, jika murtahin terlalu lama memanfaatkan ia harus membayarnya kecuali jika rahin mengetahui dan tidak mempermasalahkannya. Sebagian lainnya berpendapat tidak perlu membayar.

3.         Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Jika tidak menyebabkan barang berkurang. Jika tidak menyebabkan berkurang , maka tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya, dll. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin kepada murtahin.[9]


D.      Status Harta Rahn



[1]               Jaih Mubarok, Perkembangan Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 68
[2] http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=30400&Itemid=197
               
[3]               Mardani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada , 2011), hal. 130
[4]               http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=30400&Itemid=197
[5]               http://renidwip.blogspot.com/2013/02/hadits-tentang-rahn.html
[6]               Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir ibnu Katsir Jilid 1, Terj. Syihabudin (Jakarta : Gema Insani, 1999), hal. 469
[8]               M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999)
[9]               Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 27,Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal 44