A.
Pencurian dan Sanksinya Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
1.
Pengertian Pencurian (سَرِقُ)
Pencurian ( (سَرَقَ
– يَسْرِقُ – سَرْقًا yang berarti mengambil
harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.[1]
Pencurian dalam syariat islam ada
dua macam, yaitu pencurian had dan pencurian ta’zir. Pencurian had terbagi
atas pencurian ringan dan pencurian berat. Pengertian keduanya sama, hanya saja
terdapat perbedaan pada pencurian ringan yaitu dilakukan tanpa sepengetahuan
dan kerelaan pemilik harta, sedangkan pecurian berat dilakukan dengan
sepengetahuan pemilik disertai kekerasan.[2]
Pencurian adalah mengambil harta
orang lain dari penyimpanan yang semestinya secara sembunyi-sembunyi atau
secara diam-diam.[3] Mustafa
Diibulbigha dalam buku Fiqh Syafi’i terjemah ST Tahziib menyatakan bahwa
mencuri artinya mengambil barang orang lain tanpa izin pemiliknya dengan cara
sembunyi. Seseorang dikatakan melakukan pencurian apabila sudah baligh, berakal
sehat, dan mencuri satu nishab yang nilainya adalah seperempat dinar, dan
diambil dalam tempat penyimpanan, pencuri tidak ada hak milik padanya, dan
tidak terdapat syubhat terhadap barang yang dicuri tersebut.[4]
Lebih jelas Wahbah Zuhaili menerangkan dalam bukunya Fiqh Islam
Wa adillatuhu bahwa unsur atau syarat sembunyi-sembunyi yang harus
diperhitungkan dan harus terpenuhi di sini adalah pada saat permulaan dan akhir
aksi pengambilan barang yang dicuri. Syarat ini terpenuhi jika aksi pecnurian
dilakukan pada siang hari. Tetapi ketika dilakukan malam hari, syarat
sembunyi-sembunyi itu hanya pada permulaan saja. Maka untuk kedua hal tersebut
berlaku hukuman hadd potong tangan.[5]
pencurian dalam arti yang lebih
jelas adalah menjadikan sesuatu yang bukan hak miliknya, menjadi miliknya dengan cara dan dalam bentuk
apa saja, baik sesuatu itu milik perseorang atau milik masyarakat. mengambil
dan memakan sesuatu yang diperoleh dengan tidak halal itulah secara umum
disebut mencuri.[6]
seorang yang mencuri tidak memiliki hak milik dalam barang yang ia curi. karena
hak milik diartikan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan
leluasa dan berbuat bebas terhadap benda yang ia miliki tersebut sesuai dengan
undang-undang yang ditetapkan.[7]
Sedangkan Muhammad Abu Syahbah dalam
bukunya Ahmad Wardi Muslich, mengatakan :
اَلسِّرْقَةُ
شَرْعًا هِىَ أَخْذُاْلْمُكَلَّفِ – أى الْبَالِغِ الْعَاقِلِ – مَالَ الْغَيْرِ
خُفْيَةً إِذَا بَلَغَ نِصَابًا, مِنْ حِرْزٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ
شُبْهَةٌ فِى هَذَا الْمَالِ الْمَأْخُوْذِ
“Pencurian
menurut syara’ adalah pengambilan oleh seorang mukallaf – yang baligh dan
belakal – terhadap harta milik orang lain dengan dia-diam, apabila barang
tersebut mencpai nishab (batasan minimal) dari tempat simpanannya tanpa ada syubhat
dalam barang yang diambi tersebut.”[8]
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa syarat-syarat seseorang dapat
dikatakan mencuri yaitu terpenuhinya empat hal :
a.
Mengambil
secar sembunyi-sembunyi
b.
Barangnya
berupa harta kekayaan dan milik orang lain
c.
Bernilai
seperempat dinar atau lebih
d.
Diambil
dari tempat penyimpanannya
Bila syarat-syarat diatas tidak terpenuhi, maka jarimah pencurian (sariqah)
dari yang had berubah menjadi pencurian yang dihukum ta’zir
2.
Hukum Pencurian
Sumber pokok yang menjadi landasan pensyariatan hukuman hadd
pencurian adalah ayat :
ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtÏ÷r&Lä!#ty_$yJÎ/$t7|¡x.Wx»s3tRz`ÏiB«!$#3ª!$#urîÍtãÒOÅ3ymÇÌÑÈ
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yangmerek kerjakan dan
sebagai siksaan dari allah. Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” (QS.
Al-Maidah : 38)[9]
Rasulllah
SAW bersabda :
إِنَّمَا
أَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ
الشَّرِيْفُ تَرَكُوْاهُ وَإِذَ
سَرَقَ
فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ قَطَعُوْهُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : أَقَامُوا عِلَيْهِ الحَدَّ
“Wahai sekalian
manusia, sesungguhnya orng-orang sebelum kalian menjadi binasa adalah
disebabkan apabila ad seorang yang memiliki kedudukan diantara mereka mencuri,
maka mereka membiarkannya saja dan tidak menindaknya. namun apabila ada orang
yang lemah diantara mereka yang mencuri, maka mereka memotong tangannya-dalam
sebuah riwayat disebutkan dengan redaksi maka mereka menegakan hukuman hadd
potong tangan terhadapnya”[10]
Dari dalil diatas, penulis menyimpulkan
bahwa tindak pidana pencurian baik kecil maupun besar, merupakan suatu bentu
pelanggaran hukum yang merugikan pemilik harta. Tindak pidana sariqah merupakan
perbuatan yang dilarang oleh syara’ karena secara umum perbuatan ini akan
menganggu ketentraman hidup bermasyarakat, dapat merusak akal, jiwa dan harta
yang dalam Islam ketiga hal tersebut merupakan 3 dari 5 hal yang harus
dipelihara seseorang dalam menjalani kehidupan.
3.
Sanksi Pencurian
Berdasarkan surat Al-Maidah : 38 diatas, jelas bahwa sanksi Allah menjadikan
potong tangan sebagai keseluruhan hukuman.Hukuman ini berlaku bagi jarimah
sariqah yang memenuhi unsur-unsur pokoknya. Sedangkan Ahmad Wardi Muslich
menyebutkan selain hukuman potong tangan, juga dapat dihukumi dengan
penggantian kerugian (dhamman).[11]
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya
penggantian kerugian dapat dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak
dikenakan hukuman potong tangan. Namun menurut mereka, ganti rugi dan hadd tidak
dapat digabungkan, atinya bila pencuri sudah dikenal sanksi hukuman hadd,
maka baginya tidak ada keharusan membayar ganti rugi. Akan tetapi, mazhab
Hanafi pada umumnya berpendapat bahwa pemilik harta itu boleh meminta kembali
harta yang telah dicuri setelah pencuri itu tertangkap dan harta itu masih ada.[12]
Dalam
buku yang sama, terdapat pendapat dari Imam Syafi’i dan Ahmad bahwasanya sanksi
dan ganti rugi itu dapat digabungkan. Alasannya pencuri melanggar dua hak,
dalam hal ini hak Allah berupa keharaman mencuri dan hak hamba berupa pengambilan
atas harta orang lain.[13]
Menurut
Imam Malik dan murid-muridnya, apabila barang yang dicuri sudah tidak ada dan pencuri
adalah orang yang mampu maka ia diwajibkan untuk mengganti kerugian sesuai
dengan jumlah barang yang dicuri, disamping ia dikenai hukuman potong tangan.
Akan tetapi apabila ia tidak mampu maka ia hanya dijatuhi hukuman potong tangan
tanpa ganti rugi.[14]
Hukuman hadd potong tangan merupakan hak Allah yang tidak
bisa digugurkan, baik oleh korban maupun ulil amri. Hukuman potong tangan yang
dikenakan terhadap pencurian yang pertama adalah dengan cara memotong tangan
kanan pencuri dari pergelangan tangannya. Apabila ia mencuri untuk medua
kalinya, maka hukumannya berupa potong kaki kirinya. Apabila mencuri untuk
ketiga kalinya, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Hanifah, pencuri
tersebut dikenakan hukuman ta’zir dan dipenjarakan. Sedangkan jumhur ulama,
pencuri tersebut dikenai hukuman potong tangan kirinya. Apabila ia mencuri yang
keempat kalinya, maka potong kaki kanannya. Apabila ia masih mencuri, maka ia
dikenai hukuman ta’zir dan dipenjara seumur hidup (sampai ia mati) atau
sampai ia bertobat.[15]Hal
ini berdasarkan hadist Nabi SAW :
إِنْ
سَرَقَ فَاقْطَعُوْ يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ, ثُمَّ إِنْ
سَرَقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ,ثُمَّ إِنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ
“Jika
ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah
kakinya (yang kiri), jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (yang kiri)
kemudian apabila ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kanan)”[16]
Adapun batasan pemotongan menurut ulama yang empat adalah dari
pergelangan tangan.[17]
Menurut mereka yang melakukan pencurian itu adalah jari-jari tangan sampai ke
pergelangan.
Berdasarkan uraian diatas, penuli menyimpulkan bahwa jarimah
sariqah merupakan jarimah yang padanya berlaku hukuman hadd dan
hukuman ta’zir. Kedua bentuk hukuman ini merupakan sanksi untuk para pelaku
jarimah sariqah yang tepat. Ketika terpenuhinya unsur-unusr sariqah tersebut,
maka seharunya umat muslim yang melakukan pencurian tersebut dipotong tangan
sesuai dengan ketetapan hadd. Namun
ketika tidak terpenuhinya unsur-unsurnya, maka tindak pidana pencurian
dikenakan hukuman ta’zir (diproses dengan hukum pemerintah)yang penentuannya
sesuai dengan tingkat kesalahan yang ia perbuat.
Sedangkan dalam hukum positif, sanksi pencurian diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdana Pasal 362 dikatakan :
“Barang siapa
mengambil sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan
maksud untuk dimiliki secara melaawan hukum diancam karena pencurian dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan
ratus ribu rupiah”[18]
KUHP pasal 263, dan 265 juga membahas tentang sanksi pidana
pencurian yang berupa denda dan pidana penjara sebagaimana sanksi hukum yang
dikutip diatas. Jadi penulis menyimpulkan bahwa jika dilihat dari segi hukum
positif, pemberian sanksi dikenakan dalam bentuk denda dan kurungan penjara
yang dirasa saat ini sudah tidak sesuai dan tidak tepat lagi dijadikan acuan dalam
menjerakan pelaku karena hukuman tersebut dianggap terlalu ringan dibandingkan
dengan pidana yang ia lakukan.
B.
Korupsi Dan Sanksinya Menurut Hukum Positif Dan Islam
1.
Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari satu kata bahasa latin, yakni corupptio
corruptus yang disalin dalam bahasa inggris menjadi coruption aau corrupt,
dan dalam bahasa belanda corruptie (korruptie). Dalam bahasa indonesia, disebut
korupsi. Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan,
ketidakjujuran, kebejatan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian. [19]
Dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 mendefinisikan tindak pidana korupsi
di dalam Pasal 2 dan 3, yaitu:
a.
Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal
2 ayat 1).
b.
Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (Pasal 3).
Tindak pidana korupsi sebagaimana yang
tertulis dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 20 Tahun
2001 dapat dibedakan atas 2 segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif. Adapun
yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah secara melawan hukum memperkaya diri
sendiri arau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau
perekonomian Negara dengan tujuan menyalahkan kewenangan, kesempatan atau
sarana karena jabatan atau kedudukannya.[20]
Tindak pidana korupsi berdasarkan
hukum positif telah diuraikan beserta unsur-unsur yang ada didalamnya. Dalam
hubungannya dengan hukum islam, tindak pidana (jarimah) korupsi diidentifikasi
oleh hukum islam sebagai tindak pidana yang mengarah kepada : ghulul
(penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa harta/hak orang
lain), khianat, sariqahdan hirabah (perampokan) dimana :
a.
Risywah, yaitu suap
menyuap atau pungutan-pungutan liar dengan kesepakatan kedua belah pihak.Risywah
adalah bagian dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap
kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau wewenang agar tujuannya dapat
tercapai atau memudahkan kepada tujuan dari orang yang menyuapnya tersebut.
Salah satu bagian dari bentuk korupsi inilah yang telah merusak moral dan
struktur keadilan dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Karena dengan suap
menyuap, keadilan dalam proses hukum tidak dapat tercapai atau dapat
memengaruhi keputusan seorang hakim dengan nominal uang yang dapat menggetarkan
iman seorang penegak hukum.
b.
Al-Ghasbu, yaitu
apabila pungutan liar yang telah disebutkan di atas bersifat memaksa. Seperti
apabila seseoarang tidak memberikan sejumlah uang, maka urusannya akan
dipersulit. Hal ini pun dapat disebut sebagai pungutan liar (al-maksu).
c.
Mark up atau
penggelembungan dana dalam berbagai proyek disebut sebagai penipuan (al-ghurur).
d.
Pemalsuan data disebut dengan al-khiyanah.
e.
Penggelapan uang negara dapat
dikategorikan sebagai al-ghulul.
Dari segi motif perbuatan, maka korupsi
termasuk kepada jarimah siyasah atau disebut jarimah politik. Jarimah
politik adalah jarimah yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah
atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah
ditentukan oleh pemerintah.[21]
2.
Unsur-Unsur Korupsi
Berdasarkan hasil rumusan pasal 2
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, unsur-unsur dari tindak pidana korupsi
meliputi : memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, dan memperkaya
korporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.[22]
Selanjutnya, dalam pasal 3 UU No. 31
Tahun 1999 disebutkan beberapa unsur korupsi yang meliputi unsur-unsur
objektif, yaitu perbuatan yang terdiri dari penyalahgunaan kewenangan,
penyalahgunaan kesempatan, dan penyalahgunaan sarana yang ada karena jabatan
dan kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.
3.
Sanksi Korupsi
Menurut
Undang-Undang No 39 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dua subjek
terhadap tindak pidana korupsi yaitu orang dan korporasi sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 39 Tahun
1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK), yaitu:
a.
Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). “
b.
Menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan
atau perekonomian negara. Tipologi delik korupsi ini diancam dengan hukuman
penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan paling sedikit 1 tahun atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(Pasal 3 UU PTPK No. 20 Tahun 2001).
c.
(1) Memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri ataupenyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
(2) Memberi sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Tipologi tindak pidana
korupsi di atas dijatuhi sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).[23]
d. Bagi setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
agar dapat mempengaruhi putusannya pada suatu perkara yang dibebankan kepada
hakim untuk diadili dan bagi setiap orang yang memberikan atau menjanjikan
sesuatu kepada advokat untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang berkenaan
dengan suatu perkara yang diputuskan oleh pengadilan. Pada jenis seperti ini,
UU PTPK 2001 menjatuhi sanksi pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 7 tahun atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- dan paling banyak Rp.
750.000.000.[24]
(Pasal 6 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
e.
Pemborong atau ahli
bangunan yang melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan negara atau
melakukan perbuatan curang terhadap barang-barang keperluan TNI pada saat
perang. Perbuatan ini dijatuhi sanksi pidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).[25]
f.
Pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan
uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang
atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Ancaman terhadap perbuatan korupsi
jenis ini adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 15(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).[26]
g.
Pegawai negeri atau
orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu
buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Tipologi pada delik korupsi seperti ini diancam dengan pidana dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah.[27]
h.
Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan
sengaja:
1) menggelapkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang
berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
2) membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;
atau
3) membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. (Pasal 10 UU
PTPK No 20 Tahun 2001)
i.
Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikankarena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atauyang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Tindak pidana korupsi jenis ini dijatuhi sanksi pidana yaitu dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). [28](Pasal
11 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
Secara keseluruhan penetapan sanksi hukum seperti ini tidak
mengarah kepada tujuan dari hukuman ta’zir yaitu mendidik dan memberikan efek
jera kepada pelaku pidana korupsi.
Secara umum, korupsi dalam hukum Islam lebih
ditunjukkan sebagai tindakan kriminal yang secara prinsip bertentangan dengan moral
dan etika keagamaan, karena itu tidak terdapat istilah yang tegas menyatakan
istilah korupsi. Dengan demikian, sanksi pidana atas tindak pidana korupsi
adalah takzir, bentuk hukuman yang diputuskan berdasarkan kebijakan lembaga
yang berwenang dalam suatu masyarakat.
Dalam fiqh jinayah,
tindak pidana korupsi digolongkan kepada jarimah ta’zir. Dimana ta’zir
merupakan sanksi-sanksi yang tidak
disebutkan oleh syari’ tentang jenis dan ukurannya . syar’i
meninggalkan/menyerahkan penentuan ukurannya kepada ulil amri atau seorang
hakim yang mampu menggali hukum.[29]
Perbuatan korupsi dalam Islam dikenakan sanksi ganda, yaitu sanksi moral,
sanksi sosial, dan sanksi akhirat. Sanksi moral ini sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad terhadap Ibnu Al-Luthbiyah yang menerima hadiah
dari pemungutan zakat. Rasulullah memberikan sanksi moral berupa
mempublikasikan ketidakbenaran sikap dan tindakan seorang petugas yang sedang
menerima hadiah ketika ia melaksanakan tugasnya.[30]
Menurut penulis, korupsi di Indonesia cenderung dilakukan oleh
orang-orang yang berpedidikan tinggi, memiliki ilmu pengetahuan namun
disalahgunakan dalam kehidupan. Pelaksanaan pidana korupsi oleh mereka dapat
dikatakan bersih dan sangat rumit untuk dibuktikan secara cepat dan tepat. Di
samping itu, perbuatan korupsi tidak dilakukan secara personal namun
berkelompok-kelompok. Maka penulis merasa hukuman ta’zir yang diberlakukan di
Indonesia tidak akan mampu mengatasi rantai korupsi yang telah membudaya.
Lebih
jauh lagi Nurul Irfan mengatakan bahwa hal yang dicontohkan Rasulullah masih
relevan dan bisa dilakukan untuk para koruptor yang telah nyata-nyata terbukti
bersalah. Untuk parakoruptor yang belum tertangkap, sebaiknya dimasukkan dalam
Daftar Pencarian Orang (DPO) dan dipublikasikan secara terbuka.[31]
Hal ini tidak
dapat ditemukan dalam berbagai rumusan pasal UU No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dikarenakan hukum pidana lebih
cenderung menetapkan sanksi berupa pidana kurungan, pidana penjara, pidana
seumur hidup, pidana denda maupun pidana hukuman mati. [32]
Jadi, dalam
hukum positif sanksi terhadap tindak pidana korupsi dikenakan sanksi yang
bentuknya sama dengan tindak kejahatan pad umumnya yaitu pemberian sanksi denda
dan kurungan dan atau dipenjarakan selama jangka waktu tertentu.
C.
Perbandingan Hukum Positif dan Islam Terhadap Tindak Pidana Korupsi
dan Pencurian
Tindak pidana korupsi
agak mirip dengan pencurian. Hal ini jika kita melihat bahwa pelaku mengambil
dan memperkaya diri sendiri dengan harta yang bukan haknya. Namun, delik
pencurian sebagai jarimah hudud, tidak bisa dianalogikan dengan suatu tindak
pidana yang sejenis. Karena tidak ada qiyas dalam masalah hudud. Karena hudud
merupakan sebuah bentuk hukuman yang telah baku mengenai konsepnya dalam
al-Qur’an.
Kemudian terdapat
perbedaan antara delik korupsi dan pencurian. Dalam tindak pidana pencurian,
harta sebagai objek curian berada di luar kekuasaan pelaku dan tidak ada
hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan pada delik korupsi, harta sebagai
objek dari perbuatan pidana, berada di bawah kekuasaannya dan ada kaitannya
degan kedudukan pelaku. Bahkan, mungkin saja terdapat hak miliknya dalam harta
yang dikorupsinya. Mengingat dapat dimungkinkan pelaku memiliki saham dalam
harta yang dikorupsinya.
Harta yang berada di
bawah kekuasaan pelaku dan saham yang masih dimungkinkan berada dalam harta
yang dikorupsi, menjadikan delik korupsi memiliki unsur syubhat jika disebut
sebagai tindak pidana pencurian.[33]Karena
hudud identik dengan perbuatan dengan ancaman yang besar, maka sanksi pidananya
pun boleh dikatakan sangat berat. Dalam hal pencurian hukumannya adalah potong
tangan. Sehingga apabila suatu jarimah hudud memiliki unsur syubhat, wajib
untuk dibatalkan. Karena khawatir akan terjadi kekeliruan ketika penjatuhan
sanksi pidana. Salah satu ungkapan dan sekaligus juga menjadi suatu kaidah
dasar dalam menjatuhkan sanksi pidana yaitu hukuman hudud harus dihindarkan
dengan sebab adanya unsur syubhat. Juga kaidah yang mengungkapkan bahwa lebih
baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum.
Perbandingan antara pidana pencurian dengan korupsi, baik secara hukum
maupun hukuman yang dikenakan berdasarkan hukum positif dan hukum Islam jelas
memiliki karakter masing-masing. dengan tujuan pemberian hukuman yang sama-sama
untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku, menakut-nakuti pelaku hingaatak berani
melanggar hukum serta memelihara kemashlahatan umat dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun hukum dalam pidana Islam jelas lebih benar dan pantas
untuk dilaksanakan sesuai dengan hukum
Allah yang pasti benar dan baik dibandingkan dengan hukum ciptaan manusia yang
terkadang berubah-ubah dan bersifat subyektif. sedangkan pembuat hukum hakiki
adalah Allah Swt. Namun sayang Indonesia bukanlah negara yang berlaku
didalamnya hukum jinayah atau pelaksanaan hukum-hukum pidana tidak diberlakukan
secara Islam.
A.W. Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap
(Surabaya : Pustaka Progressif)
Muslich, Ahmad
Wardi. 2005.Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika)
Deperteman Agama. 2007. Alquran danTerjemahannya. (Surabaya
: Mega Jaya Abadi)
H.A Djazuli. 2000. Fiqh Jinayah Upaya Menangulangi Kejahatan
dalam Islam.(Jakarta : Rajagrafindo Persada)
M. Nurul Irfan. 2011. Korupsi
Dalam Hukum Pidana Islam. (Jakarta :
Amzah)
Muhammad Abu Zahrah. 1998.Al-jarimahwa al-uqubah fi fiqh
al-islami terjemahan. (Al-Qahirah, Dar Al-Arabi)
Mustafa Diibulbigha. 1984. Fiqh syafi’i terjemah ST Tahdziib. (Surabaya
: CV. Bintang Pelajar)
Sayyid Sabit. 2008.Fiqh Sunnah II, (Jakarta : CV. Cakrawala
Publishing)
Undang-Undang Pemberantasan
Korupsi No. 31 Tahun 1999
Undang-Undang Pemberantasan Korupsi
No. 20 tahun 2000
Wahbah
Az-Zuhaili. 2011. Fiqh Islam Wa AdillatuhuJilid 7.(Depok : gema
insani)
Yunarti, Sri.
2012. Fiqh Jinayah. (Batusangkar : STAIN Press)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar