BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Salam
1. Pengertian Salam
Secara bahasa, al-salam berarti al-salaf
(terdahulu,al-taqdim). Menurut al-juzairi, penduduk Hijaz menggunakan istilah al-salam, sedangkan penduduk Irak
menggunakan istilah al-salaf.
Disamping itu, ada juga ulama yang menyebutnya bay al-mahawij (jual beli yang dilakukan oleh orang-orang fakir
atau miskin). Disebut demikian karena penjual tidak memiliki modal sehingga
harus dibayar dulu uangnya oleh pembeli, padahal benda yang dijual belum ada.
Sedangkan pengertian al-salam secara istilah ulama
berbeda-beda pendapat dalam menjelaskannya. Menurut Hanafi al-salam adalah penjualan yang penyerahan objek akadnya dikemudian
hari, sedangkan pembayaran benda tersebut dilakukan secara tunai.
Jadi, definisi al-salam secara rinci adalah jual beli benda dengan menyebutkan
sifat-sifat benda yang menjadi objek akad dengan harga yang disepakati pada
waktu akad, sedangkan benda yang menjadi objek penjualan akan diserahkan
dikemudian hari.[1]
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam
ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu
barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada
saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua
belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar
(untung-untungan).[2]
Allah Ta’ala berfirman:
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä
#sÎ)
LäêZt#ys?
AûøïyÎ/
#n<Î)
9@y_r&
wK|¡B
çnqç7çFò2$$sù
4
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Kebolehan jual beli salam ini dikuatkan
dengan hadis riwayat Bukhari, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ
اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي
اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ
فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )
(رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ )
“Ibnu
Abbas berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan
penduduknya biasa melakukan salaf dalam buah-buahan untuk masa setahun, dua
tahun dan tiga tahun. Maka beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan salaf dalam sesuatu, maka hendaklah dia
melakukannya dalam takaran, timbangan, dan sampai waktu tertentu.” (HR.Bukhari ).[3]
2. Syarat-syarat Barang yang Dijual Salam
Sesuatu barang atau benda hendak
dijual secara salam itu disyaratkan :
a.
Boleh dianggarkan sifatnya, artinya
ada sifat-sifat yang boleh dibuat anggaran.
b.
Tidak bercampur dengan benda-benda
lain yang menyebabkan sukar hendak membuat anggarannya.
c.
Barang itu hendaklah tertentu
(jelas). Tidak boleh seperti kata penjual : “Saya jual salam kain ini
kepada saudara.”
d.
Barang itu hendaklah sesuatu yang
memenuhi syarat sah dijual beli.
3. Syarat-syarat Sah Akad Jual Salam
Syarat-syarat sah akad jual-beli
salam ialah :
a.
Hendaklah dijelaskan jenis dan
sifat-sifat penting bagi barang yang hendak dijual itu.
b.
Hendaklah dijelaskan juga kadarnya.
c.
Hendaklah ditetapkan masa tempo
untuk mendapatkannya.
d.
Hendaklah barang itu boleh didapati
bila sampai tempo yang ditetapkan.
e.
Hendaklah barang itu biasa didapati,
bukan jarang-jarang didapati.
f.
Hendaklah ditetapkan tempat
menerimanya.
g.
Hendaklah dibayar tunai harganya.
Akad jual
beli ini terus berjalan kuat kuasanya, artinya tidak sah jika disyaratkan
khiar. Sebagai Peringatan, Bila diserah barang itu sebagaimana yang disifatkan
di dalam akadnya atau lebih baik lagi, wajiblah menerimanya. Kalau barang itu
terkurang dari apa yang telah disifatkan, harus menerimanya, tetapi tidak
wajib.[4]
B.
Pelaksanaan
Rahn
1. Pengertian Rahn (Gadai)
Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm
(tetap dan langgeng), dan bisa juga berarti al-ihtibas, wa al-luzum, (tertahan
dan keharusan). Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang
dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak
yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai
ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat
dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari
nilai barang gadainya itu”.[5]
Jadi, gadai (rahn) adalah suatu barang yang dijadikan sebagi jaminan
utang, yang dipegang oleh pihak yang berpiutang, bila yang berhutang tidak
sanggup membayar hutangnya, maka barang yang dijadikan sebagai jaminan tadi
bisa diambil dan menjadi hak si piutang.
2. Landasan Disyariatkannya Gadai:
Gadai
diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini
berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di
antaranya:
1.
Al-Qur’an
سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى
“Jika kamu
dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Maksud ayat diatas adalah jika seseorang dalam perjalanan, kemudian dia
berhutang, sedang dia tidak menemukan seorang penulis yang mencatat
transaksinya. Sebagaimana pendapat dari Ibnu Abbas : “ atau dia memperolehnya
namun tidak ada kertasnya atau tintanya atau penanya maka hendaklah ada barang
jaminan yang dipegang oleh orang yang mengutangkan[6].
2.
Al-Hadits
طَعَامًا شْتَرَى ا وسلم عليه اللهصلى النَّبِىَّ أَنَّ عنها اللهرضى عَائِشَةَ عَنْ
حَدِيدٍ مِنْ دِرْعًا وَرَهَنَهُ أَجَلٍ إِلَى يَهُودِىٍّ مِنْ
“Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari dan Muslim).
دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ صلى الله عليه وسلم لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ :قال ضى الله عنه عَنْ أَنَسٍ
عِنْدَ يَهُودِىٍّ ،
وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ
“Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi,
sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan
keluarga Beliau.” (HR. Bukhari).
3.
Ijma’ (konsensus) para
ulama:
Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun
sebagian mereka berbeda pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan tidak
dalam perjalanan. Akan tetapi, pendapat yang lebih (kuat) ialah bolehnya
melakukan gadai dalam dua
keadaan
tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan
bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan
beliau tidak dalam kondisi safar atau tidak dalam perjalanan.[7]
C.
Pemanfaatan
Barang Rahn
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan
untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan,
barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi
milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia
hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang
dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
وَعَنْ
عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ( كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, فَهُوَ رِبًا ) رَوَاهُ
اَلْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ, وَإِسْنَادُهُ سَاقِطٌ
“Dari Ali Radliyallaahu
'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Setiap hutang yang menarik manfaat
adalah riba." (Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah).
Dengan demikian, pemberi utang tidak
dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang
atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu
nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka
itu adalah riba.
Karena
setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba, demikianlah hukum
asal pegadaian.
Namun di sana ada keadaan tertentu yang
membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang
tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh
menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk
pemeliharaan barang tersebut.
Pemanfaatan barang gadai tesebut,
tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan
keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم ( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا,
وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى
اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ ). (رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ)ُ
“Dari Abu
Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar
dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang
menaiki dan meminumnya wajib membayar." (Riwayat
Bukhari).
Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan
bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada
pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga
menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki
air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.[8]
Pada dasarnya terdapat dua pendapat
mengenai kebolehan gadai (rahn), jumhur
ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan barang gadaian,
sedangkan ulama syafi’iyah membolehkan sejauh tidak memudharatkan murtahin.
Uraiannya adalah sebagai berikut :
1.
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin
murtahin. Begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizing
rahin.mereka beralasan bahwa barang harus tetap dikuasai murtahin selamanya.
Pendapat ini senada dengan ulama Hanabilah sebab manfaat yang ada dalam barang
gadaian pada dasarnya termasuk rahn.
2.
Ulama Malikiyah
berpendapat jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan barang gadaian,
akad menjadi batal. Adapun murtahin dibolehkan memanfaatkan barang gadaian
sekedarnya. Sebagian ulama Malikiyah, jika murtahin terlalu lama memanfaatkan
ia harus membayarnya kecuali jika rahin mengetahui dan tidak
mempermasalahkannya. Sebagian lainnya berpendapat tidak perlu membayar.
3.
Ulama Syafi’iyah
berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadaian.
Jika tidak menyebabkan barang berkurang. Jika tidak menyebabkan berkurang ,
maka tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya, dll. Akan
tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus
meminta izin kepada murtahin.[9]
D.
Status
Harta Rahn
[1]
Jaih Mubarok, Perkembangan
Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004),
hal. 68
[2]
http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=30400&Itemid=197
[3] Mardani,
Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah,
(Jakarta : PT Rajagrafindo Persada , 2011), hal. 130
[6] Muhammad
Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyul Qadir
li Ikhtisari Tafsir ibnu Katsir Jilid 1, Terj. Syihabudin (Jakarta : Gema
Insani, 1999), hal. 469
[8] M. Ali Hasan, Berbagai Macam
Transaksi dalam Islam Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999)
[9]
Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi
al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 27,Beirut- Lebanon: Resalah
Publisher, 2002), hal 44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar