Jumat, 28 November 2014

salam dan rahn

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pelaksanaan Salam
1.      Pengertian Salam
Secara bahasa, al-salam berarti al-salaf (terdahulu,al-taqdim). Menurut al-juzairi, penduduk Hijaz menggunakan istilah al-salam, sedangkan penduduk Irak menggunakan istilah al-salaf. Disamping itu, ada juga ulama yang menyebutnya bay al-mahawij (jual beli yang dilakukan oleh orang-orang fakir atau miskin). Disebut demikian karena penjual tidak memiliki modal sehingga harus dibayar dulu uangnya oleh pembeli, padahal benda yang dijual belum ada.
Sedangkan pengertian al-salam secara istilah ulama berbeda-beda pendapat dalam menjelaskannya. Menurut Hanafi al-salam adalah penjualan yang penyerahan objek akadnya dikemudian hari, sedangkan pembayaran benda tersebut dilakukan secara tunai.
Jadi, definisi al-salam secara rinci adalah jual beli benda dengan menyebutkan sifat-sifat benda yang menjadi objek akad dengan harga yang disepakati pada waktu akad, sedangkan benda yang menjadi objek penjualan akan diserahkan dikemudian hari.[1]
Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar (untung-untungan).[2] Allah Ta’ala berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Qs. Al Baqarah: 282)
Kebolehan jual beli salam ini dikuatkan dengan hadis riwayat Bukhari, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ) (رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ )
“Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa melakukan salaf dalam buah-buahan untuk masa setahun, dua tahun dan tiga tahun. Maka beliau bersabda: “Barangsiapa  melakukan salaf dalam sesuatu, maka hendaklah dia melakukannya dalam takaran, timbangan, dan sampai waktu tertentu.”  (HR.Bukhari ).[3]

2.      Syarat-syarat Barang yang Dijual Salam
            Sesuatu barang atau benda hendak dijual secara salam itu disyaratkan :
a.         Boleh dianggarkan sifatnya, artinya ada sifat-sifat yang boleh dibuat anggaran.
b.         Tidak bercampur dengan benda-benda lain yang menyebabkan sukar hendak membuat anggarannya.
c.         Barang itu hendaklah tertentu (jelas). Tidak boleh seperti kata penjual : “Saya jual salam kain ini kepada saudara.”
d.        Barang itu hendaklah sesuatu yang memenuhi syarat sah dijual beli.

3.      Syarat-syarat Sah Akad Jual Salam
Syarat-syarat sah akad jual-beli salam ialah :
a.       Hendaklah dijelaskan jenis dan sifat-sifat penting bagi barang yang hendak dijual itu.
b.      Hendaklah dijelaskan juga kadarnya.
c.       Hendaklah ditetapkan masa tempo untuk mendapatkannya.
d.      Hendaklah barang itu boleh didapati bila sampai tempo yang ditetapkan.
e.       Hendaklah barang itu biasa didapati, bukan jarang-jarang didapati.
f.       Hendaklah ditetapkan tempat menerimanya.
g.      Hendaklah dibayar tunai harganya.
Akad jual beli ini terus berjalan kuat kuasanya, artinya tidak sah jika disyaratkan khiar. Sebagai Peringatan, Bila diserah barang itu sebagaimana yang disifatkan di dalam akadnya atau lebih baik lagi, wajiblah menerimanya. Kalau barang itu terkurang dari apa yang telah disifatkan, harus menerimanya, tetapi tidak wajib.[4]



B.       Pelaksanaan Rahn
1.      Pengertian Rahn (Gadai)
Ar-Rahn (gadai) secara bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng), dan bisa juga berarti al-ihtibas, wa al-luzum, (tertahan dan keharusan). Sedangkan secara syar‘i, ar-rahn (gadai) adalah harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) melunasinya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Gadai ialah harta benda yang dijadikan sebagai jaminan (agunan) utang agar dapat dilunasi (semuanya), atau sebagiannya dengan harganya atau dengan sebagian dari nilai barang gadainya itu”.[5]
Jadi, gadai (rahn) adalah suatu barang yang dijadikan sebagi jaminan utang, yang dipegang oleh pihak yang berpiutang, bila yang berhutang tidak sanggup membayar hutangnya, maka barang yang dijadikan sebagai jaminan tadi bisa diambil dan menjadi hak si piutang.
2.      Landasan Disyariatkannya Gadai:
Gadai diperbolehkan dalam agama Islam baik dalam keadaan safar maupun mukim. Hal ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’ (konsensus) para ulama. Di antaranya:
1.      Al-Qur’an

سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”          (QS. Al-Baqarah: 283)
Maksud ayat diatas adalah jika seseorang dalam perjalanan, kemudian dia berhutang, sedang dia tidak menemukan seorang penulis yang mencatat transaksinya. Sebagaimana pendapat dari Ibnu Abbas : “ atau dia memperolehnya namun tidak ada kertasnya atau tintanya atau penanya maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh orang yang mengutangkan[6].
2.       Al-Hadits
طَعَامًا شْتَرَى ا وسلم عليه اللهصلى  النَّبِىَّ أَنَّ عنها اللهرضى عَائِشَةَ عَنْ
  حَدِيدٍ مِنْ دِرْعًا وَرَهَنَهُ أَجَلٍ إِلَى يَهُودِىٍّ مِنْ 

“Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari dan Muslim).

 دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ صلى الله عليه وسلم لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ :قال ضى الله عنه عَنْ أَنَسٍ
عِنْدَ يَهُودِىٍّ ، وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا لأَهْلِهِ

“Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menggadaikan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga Beliau.” (HR. Bukhari).
3.      Ijma’ (konsensus) para ulama:

Para ulama telah bersepakat akan diperbolehkannya gadai (ar-rahn), meskipun sebagian mereka berbeda pendapat bila gadai itu dilakukan dalam keadaan tidak dalam perjalanan. Akan tetapi, pendapat yang lebih (kuat) ialah bolehnya melakukan gadai dalam dua
keadaan tersebut. Sebab riwayat Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhuma di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan muamalah gadai di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar atau tidak dalam perjalanan.[7]

C.      Pemanfaatan Barang Rahn
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً, فَهُوَ رِبًا )  رَوَاهُ اَلْحَارِثُ بْنُ أَبِي أُسَامَةَ, وَإِسْنَادُهُ سَاقِطٌ
“Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba." (Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah).
Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba.
Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba, demikianlah hukum asal pegadaian.
Namun di sana ada keadaan tertentu yang membolehkan pemberi utang memanfaatkan barang gadaian, yaitu bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diperah air susunya, maka boleh menggunakan dan memerah air susunya apabila ia memberikan nafkah untuk pemeliharaan barang tersebut.
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ اَلدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى اَلَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ اَلنَّفَقَةُ ).  (رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ)ُ
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar." (Riwayat Bukhari).
Syaikh Abdullah Al-Bassam menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.[8]
Pada dasarnya terdapat dua pendapat mengenai kebolehan gadai (rahn),  jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan barang gadaian, sedangkan ulama syafi’iyah membolehkan sejauh tidak memudharatkan murtahin. Uraiannya adalah sebagai berikut :
1.         Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadaian tanpa seizin murtahin. Begitu pula murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizing rahin.mereka beralasan bahwa barang harus tetap dikuasai murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan ulama Hanabilah sebab manfaat yang ada dalam barang gadaian pada dasarnya termasuk rahn.

2.         Ulama Malikiyah berpendapat jika murtahin mengizinkan rahin untuk memanfaatkan barang gadaian, akad menjadi batal. Adapun murtahin dibolehkan memanfaatkan barang gadaian sekedarnya. Sebagian ulama Malikiyah, jika murtahin terlalu lama memanfaatkan ia harus membayarnya kecuali jika rahin mengetahui dan tidak mempermasalahkannya. Sebagian lainnya berpendapat tidak perlu membayar.

3.         Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Jika tidak menyebabkan barang berkurang. Jika tidak menyebabkan berkurang , maka tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya, dll. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahin harus meminta izin kepada murtahin.[9]


D.      Status Harta Rahn



[1]               Jaih Mubarok, Perkembangan Fatwa Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 68
[2] http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=30400&Itemid=197
               
[3]               Mardani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada , 2011), hal. 130
[4]               http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=30400&Itemid=197
[5]               http://renidwip.blogspot.com/2013/02/hadits-tentang-rahn.html
[6]               Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtisari Tafsir ibnu Katsir Jilid 1, Terj. Syihabudin (Jakarta : Gema Insani, 1999), hal. 469
[8]               M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999)
[9]               Al-Mazzy,Luqman Jamal ad-Din Abi al-Hajj Yusuf,Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal juz 27,Beirut- Lebanon: Resalah Publisher, 2002), hal 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar