Senin, 01 Desember 2014

makalah pencurian



A.    Pencurian dan Sanksinya Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam
1.      Pengertian Pencurian  (سَرِقُ)
Pencurian (     (سَرَقَ – يَسْرِقُ – سَرْقًا yang berarti mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.[1]
Pencurian dalam syariat islam ada dua macam, yaitu pencurian had  dan pencurian ta’zir. Pencurian had terbagi atas pencurian ringan dan pencurian berat. Pengertian keduanya sama, hanya saja terdapat perbedaan pada pencurian ringan yaitu dilakukan tanpa sepengetahuan dan kerelaan pemilik harta, sedangkan pecurian berat dilakukan dengan sepengetahuan pemilik disertai kekerasan.[2]
Pencurian adalah mengambil harta orang lain dari penyimpanan yang semestinya secara sembunyi-sembunyi atau secara diam-diam.[3]                  Mustafa Diibulbigha dalam buku Fiqh Syafi’i terjemah ST Tahziib menyatakan bahwa mencuri artinya mengambil barang orang lain tanpa izin pemiliknya dengan cara sembunyi. Seseorang dikatakan melakukan pencurian apabila sudah baligh, berakal sehat, dan mencuri satu nishab yang nilainya adalah seperempat dinar, dan diambil dalam tempat penyimpanan, pencuri tidak ada hak milik padanya, dan tidak terdapat syubhat terhadap barang yang dicuri tersebut.[4]
                                    Lebih jelas Wahbah Zuhaili menerangkan dalam bukunya Fiqh Islam Wa adillatuhu bahwa unsur atau syarat sembunyi-sembunyi yang harus diperhitungkan dan harus terpenuhi di sini adalah pada saat permulaan dan akhir aksi pengambilan barang yang dicuri. Syarat ini terpenuhi jika aksi pecnurian dilakukan pada siang hari. Tetapi ketika dilakukan malam hari, syarat sembunyi-sembunyi itu hanya pada permulaan saja. Maka untuk kedua hal tersebut berlaku hukuman hadd potong tangan.[5]
                                   
pencurian dalam arti yang lebih jelas adalah menjadikan sesuatu yang bukan hak miliknya,  menjadi miliknya dengan cara dan dalam bentuk apa saja, baik sesuatu itu milik perseorang atau milik masyarakat. mengambil dan memakan sesuatu yang diperoleh dengan tidak halal itulah secara umum disebut mencuri.[6] seorang yang mencuri tidak memiliki hak milik dalam barang yang ia curi. karena hak milik diartikan sebagai hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan leluasa dan berbuat bebas terhadap benda yang ia miliki tersebut sesuai dengan undang-undang yang ditetapkan.[7]
Sedangkan Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya Ahmad Wardi Muslich, mengatakan :
          اَلسِّرْقَةُ شَرْعًا هِىَ أَخْذُاْلْمُكَلَّفِ – أى الْبَالِغِ الْعَاقِلِ – مَالَ الْغَيْرِ خُفْيَةً إِذَا بَلَغَ نِصَابًا, مِنْ حِرْزٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ شُبْهَةٌ فِى هَذَا الْمَالِ الْمَأْخُوْذِ
                        “Pencurian menurut syara’ adalah pengambilan oleh seorang mukallaf – yang baligh dan belakal – terhadap harta milik orang lain dengan dia-diam, apabila barang tersebut mencpai nishab (batasan minimal) dari tempat simpanannya tanpa ada syubhat dalam barang yang diambi tersebut.”[8]




                        Jadi dapat penulis simpulkan bahwa syarat-syarat seseorang dapat dikatakan mencuri yaitu terpenuhinya empat hal : 
a.       Mengambil secar sembunyi-sembunyi
b.      Barangnya berupa harta kekayaan dan milik orang lain
c.       Bernilai seperempat dinar atau lebih
d.      Diambil dari tempat penyimpanannya
Bila syarat-syarat diatas tidak terpenuhi, maka jarimah pencurian (sariqah) dari yang had berubah menjadi pencurian yang dihukum ta’zir

2.      Hukum Pencurian
Sumber pokok yang menjadi landasan pensyariatan hukuman hadd pencurian adalah ayat :

ä-Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtƒÏ÷ƒr&Lä!#ty_$yJÎ/$t7|¡x.Wx»s3tRz`ÏiB«!$#3ª!$#urîƒÍtãÒOŠÅ3ymÇÌÑÈ
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yangmerek kerjakan dan sebagai siksaan dari allah. Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” (QS. Al-Maidah : 38)[9]

            Rasulllah SAW bersabda :
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْاهُ وَإِذَ
سَرَقَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ قَطَعُوْهُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : أَقَامُوا عِلَيْهِ الحَدَّ

           
              “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya orng-orang sebelum kalian menjadi binasa adalah disebabkan apabila ad seorang yang memiliki kedudukan diantara mereka mencuri, maka mereka membiarkannya saja dan tidak menindaknya. namun apabila ada orang yang lemah diantara mereka yang mencuri, maka mereka memotong tangannya-dalam sebuah riwayat disebutkan dengan redaksi maka mereka menegakan hukuman hadd potong tangan terhadapnya”[10]

Dari dalil diatas, penulis menyimpulkan bahwa tindak pidana pencurian baik kecil maupun besar, merupakan suatu bentu pelanggaran hukum yang merugikan pemilik harta. Tindak pidana sariqah merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ karena secara umum perbuatan ini akan menganggu ketentraman hidup bermasyarakat, dapat merusak akal, jiwa dan harta yang dalam Islam ketiga hal tersebut merupakan 3 dari 5 hal yang harus dipelihara seseorang dalam menjalani kehidupan.

3.      Sanksi Pencurian
Berdasarkan surat Al-Maidah : 38 diatas, jelas bahwa sanksi Allah menjadikan potong tangan sebagai keseluruhan hukuman.Hukuman ini berlaku bagi jarimah sariqah yang memenuhi unsur-unsur pokoknya. Sedangkan Ahmad Wardi Muslich menyebutkan selain hukuman potong tangan, juga dapat dihukumi dengan penggantian kerugian (dhamman).[11]
Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya penggantian kerugian dapat dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak dikenakan hukuman potong tangan. Namun menurut mereka, ganti rugi dan hadd tidak dapat digabungkan, atinya bila pencuri sudah dikenal sanksi hukuman hadd, maka baginya tidak ada keharusan membayar ganti rugi. Akan tetapi, mazhab Hanafi pada umumnya berpendapat bahwa pemilik harta itu boleh meminta kembali harta yang telah dicuri setelah pencuri itu tertangkap dan harta itu masih ada.[12]
            Dalam buku yang sama, terdapat pendapat dari Imam Syafi’i dan Ahmad bahwasanya sanksi dan ganti rugi itu dapat digabungkan. Alasannya pencuri melanggar dua hak, dalam hal ini hak Allah berupa keharaman mencuri dan hak hamba berupa pengambilan atas harta orang lain.[13]
                                    Menurut Imam Malik dan murid-muridnya, apabila barang yang dicuri sudah tidak ada dan pencuri adalah orang yang mampu maka ia diwajibkan untuk mengganti kerugian sesuai dengan jumlah barang yang dicuri, disamping ia dikenai hukuman potong tangan. Akan tetapi apabila ia tidak mampu maka ia hanya dijatuhi hukuman potong tangan tanpa ganti rugi.[14]
                        Hukuman hadd potong tangan merupakan hak Allah yang tidak bisa digugurkan, baik oleh korban maupun ulil amri. Hukuman potong tangan yang dikenakan terhadap pencurian yang pertama adalah dengan cara memotong tangan kanan pencuri dari pergelangan tangannya. Apabila ia mencuri untuk medua kalinya, maka hukumannya berupa potong kaki kirinya. Apabila mencuri untuk ketiga kalinya, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Hanifah, pencuri tersebut dikenakan hukuman ta’zir dan dipenjarakan. Sedangkan jumhur ulama, pencuri tersebut dikenai hukuman potong tangan kirinya. Apabila ia mencuri yang keempat kalinya, maka potong kaki kanannya. Apabila ia masih mencuri, maka ia dikenai hukuman ta’zir dan dipenjara seumur hidup (sampai ia mati) atau sampai ia bertobat.[15]Hal ini berdasarkan hadist Nabi SAW :
إِنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوْ يَدَهُ ثُمَّ إِنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ, ثُمَّ إِنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوْا يَدَهُ,ثُمَّ إِنْ سَرَقَ فَاقْطَعُوْا رِجْلَهُ

“Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kiri), jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (yang kiri) kemudian apabila ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kanan)”[16]

Adapun batasan pemotongan menurut ulama yang empat adalah dari pergelangan tangan.[17] Menurut mereka yang melakukan pencurian itu adalah jari-jari tangan sampai ke pergelangan.
Berdasarkan uraian diatas, penuli menyimpulkan bahwa jarimah sariqah merupakan jarimah yang padanya berlaku hukuman hadd dan hukuman ta’zir. Kedua bentuk hukuman ini merupakan sanksi untuk para pelaku jarimah sariqah yang tepat. Ketika terpenuhinya unsur-unusr sariqah tersebut, maka seharunya umat muslim yang melakukan pencurian tersebut dipotong tangan sesuai dengan  ketetapan hadd. Namun ketika tidak terpenuhinya unsur-unsurnya, maka tindak pidana pencurian dikenakan hukuman ta’zir (diproses dengan hukum pemerintah)yang penentuannya sesuai dengan tingkat kesalahan yang ia perbuat.

Sedangkan dalam hukum positif, sanksi pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdana Pasal 362 dikatakan :
“Barang siapa mengambil sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melaawan hukum diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus ribu rupiah”[18]

KUHP pasal 263, dan 265 juga membahas tentang sanksi pidana pencurian yang berupa denda dan pidana penjara sebagaimana sanksi hukum yang dikutip diatas. Jadi penulis menyimpulkan bahwa jika dilihat dari segi hukum positif, pemberian sanksi dikenakan dalam bentuk denda dan kurungan penjara yang dirasa saat ini sudah tidak sesuai dan tidak tepat lagi dijadikan acuan dalam menjerakan pelaku karena hukuman tersebut dianggap terlalu ringan dibandingkan dengan pidana yang ia lakukan.



B.     Korupsi Dan Sanksinya Menurut Hukum Positif Dan Islam
1.      Pengertian Korupsi
Istilah korupsi berasal dari satu kata bahasa latin, yakni corupptio corruptus yang disalin dalam bahasa inggris menjadi coruption aau corrupt, dan dalam bahasa belanda corruptie (korruptie). Dalam bahasa indonesia, disebut korupsi. Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan, keburukan, ketidakjujuran, kebejatan, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. [19]
Dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 mendefinisikan tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 dan 3, yaitu:
a.       Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat 1).
b.      Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

Tindak pidana korupsi sebagaimana yang tertulis dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 dapat dibedakan atas 2 segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif. Adapun yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah secara melawan hukum memperkaya diri sendiri arau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara dengan tujuan menyalahkan kewenangan, kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukannya.[20]
Tindak pidana korupsi berdasarkan hukum positif telah diuraikan beserta unsur-unsur yang ada didalamnya. Dalam hubungannya dengan hukum islam, tindak pidana (jarimah) korupsi diidentifikasi oleh hukum islam sebagai tindak pidana yang mengarah kepada : ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa harta/hak orang lain), khianat, sariqahdan hirabah (perampokan) dimana :
a.       Risywah, yaitu suap menyuap atau pungutan-pungutan liar dengan kesepakatan kedua belah pihak.Risywah adalah bagian dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau wewenang agar tujuannya dapat tercapai atau memudahkan kepada tujuan dari orang yang menyuapnya tersebut. Salah satu bagian dari bentuk korupsi inilah yang telah merusak moral dan struktur keadilan dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Karena dengan suap menyuap, keadilan dalam proses hukum tidak dapat tercapai atau dapat memengaruhi keputusan seorang hakim dengan nominal uang yang dapat menggetarkan iman seorang penegak hukum.
b.      Al-Ghasbu, yaitu apabila pungutan liar yang telah disebutkan di atas bersifat memaksa. Seperti apabila seseoarang tidak memberikan sejumlah uang, maka urusannya akan dipersulit. Hal ini pun dapat disebut sebagai pungutan liar (al-maksu).
c.       Mark up atau penggelembungan dana dalam berbagai proyek disebut sebagai penipuan (al-ghurur).
d.      Pemalsuan data disebut dengan al-khiyanah.
e.        Penggelapan uang negara dapat dikategorikan sebagai al-ghulul.

 Dari segi motif perbuatan, maka korupsi termasuk kepada jarimah siyasah atau disebut jarimah politik. Jarimah politik adalah jarimah yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah ditentukan oleh pemerintah.[21]

2.      Unsur-Unsur Korupsi
Berdasarkan hasil rumusan pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, unsur-unsur dari tindak pidana korupsi meliputi : memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain, dan memperkaya korporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[22]
Selanjutnya, dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 disebutkan beberapa unsur korupsi yang meliputi unsur-unsur objektif, yaitu perbuatan yang terdiri dari penyalahgunaan kewenangan, penyalahgunaan kesempatan, dan penyalahgunaan sarana yang ada karena jabatan dan kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

3.      Sanksi Korupsi
Menurut Undang-Undang No 39 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dua subjek terhadap tindak pidana korupsi yaitu orang dan korporasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1)  UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK), yaitu:
a.       Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). “
b.      Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Tipologi delik korupsi ini diancam dengan hukuman penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan paling sedikit 1 tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Pasal 3 UU PTPK No. 20 Tahun 2001).
c.       (1) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri ataupenyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau 
(2)    Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Tipologi tindak pidana korupsi di atas dijatuhi sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).[23]

d.      Bagi setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim agar dapat mempengaruhi putusannya pada suatu perkara yang dibebankan kepada hakim untuk diadili dan bagi setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada advokat untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang berkenaan dengan suatu perkara yang diputuskan oleh pengadilan. Pada jenis seperti ini, UU PTPK 2001 menjatuhi sanksi pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 7 tahun atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- dan paling banyak Rp. 750.000.000.[24] (Pasal 6 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
e.       Pemborong atau ahli bangunan yang melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan negara atau melakukan perbuatan curang terhadap barang-barang keperluan TNI pada saat perang. Perbuatan ini dijatuhi sanksi pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).[25]
f.       Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Ancaman terhadap perbuatan korupsi jenis ini adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).[26]
g.      Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Tipologi pada delik korupsi seperti ini diancam dengan pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah.[27]
h.        Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
1)       menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau 
2)      membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau 
3)      membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. (Pasal 10 UU PTPK No 20 Tahun 2001)
i.        Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikankarena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atauyang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Tindak pidana korupsi jenis ini dijatuhi sanksi pidana yaitu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh jutarupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). [28](Pasal 11 UU PTPK No 20 Tahun 2001)

Secara keseluruhan penetapan sanksi hukum seperti ini tidak mengarah kepada tujuan dari hukuman ta’zir yaitu mendidik dan memberikan efek jera kepada pelaku pidana korupsi.
Secara umum, korupsi dalam hukum Islam lebih ditunjukkan sebagai tindakan kriminal yang secara prinsip bertentangan dengan moral dan etika keagamaan, karena itu tidak terdapat istilah yang tegas menyatakan istilah korupsi. Dengan demikian, sanksi pidana atas tindak pidana korupsi adalah takzir, bentuk hukuman yang diputuskan berdasarkan kebijakan lembaga yang berwenang dalam suatu masyarakat.
Dalam  fiqh jinayah, tindak pidana korupsi digolongkan kepada jarimah ta’zir. Dimana ta’zir  merupakan sanksi-sanksi yang tidak disebutkan oleh syari’ tentang jenis dan ukurannya . syar’i meninggalkan/menyerahkan penentuan ukurannya kepada ulil amri atau seorang hakim yang mampu menggali hukum.[29] Perbuatan korupsi dalam Islam dikenakan sanksi ganda, yaitu sanksi moral, sanksi sosial, dan sanksi akhirat. Sanksi moral ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad terhadap Ibnu Al-Luthbiyah yang menerima hadiah dari pemungutan zakat. Rasulullah memberikan sanksi moral berupa mempublikasikan ketidakbenaran sikap dan tindakan seorang petugas yang sedang menerima hadiah ketika ia melaksanakan tugasnya.[30]
Menurut penulis, korupsi di Indonesia cenderung dilakukan oleh orang-orang yang berpedidikan tinggi, memiliki ilmu pengetahuan namun disalahgunakan dalam kehidupan. Pelaksanaan pidana korupsi oleh mereka dapat dikatakan bersih dan sangat rumit untuk dibuktikan secara cepat dan tepat. Di samping itu, perbuatan korupsi tidak dilakukan secara personal namun berkelompok-kelompok. Maka penulis merasa hukuman ta’zir yang diberlakukan di Indonesia tidak akan mampu mengatasi rantai korupsi yang telah membudaya.
                                    Lebih jauh lagi Nurul Irfan mengatakan bahwa hal yang dicontohkan Rasulullah masih relevan dan bisa dilakukan untuk para koruptor yang telah nyata-nyata terbukti bersalah. Untuk parakoruptor yang belum tertangkap, sebaiknya dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan dipublikasikan secara terbuka.[31]
Hal ini tidak dapat ditemukan dalam berbagai rumusan pasal UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini dikarenakan hukum pidana lebih cenderung menetapkan sanksi berupa pidana kurungan, pidana penjara, pidana seumur hidup, pidana denda maupun pidana hukuman mati. [32]
Jadi, dalam hukum positif sanksi terhadap tindak pidana korupsi dikenakan sanksi yang bentuknya sama dengan tindak kejahatan pad umumnya yaitu pemberian sanksi denda dan kurungan dan atau dipenjarakan selama jangka waktu tertentu.
                                   

C.    Perbandingan Hukum Positif dan Islam Terhadap Tindak Pidana Korupsi dan Pencurian
Tindak pidana korupsi agak mirip dengan pencurian. Hal ini jika kita melihat bahwa pelaku mengambil dan memperkaya diri sendiri dengan harta yang bukan haknya. Namun, delik pencurian sebagai jarimah hudud, tidak bisa dianalogikan dengan suatu tindak pidana yang sejenis. Karena tidak ada qiyas dalam masalah hudud. Karena hudud merupakan sebuah bentuk hukuman yang telah baku mengenai konsepnya dalam al-Qur’an.
Kemudian terdapat perbedaan antara delik korupsi dan pencurian. Dalam tindak pidana pencurian, harta sebagai objek curian berada di luar kekuasaan pelaku dan tidak ada hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan pada delik korupsi, harta sebagai objek dari perbuatan pidana, berada di bawah kekuasaannya dan ada kaitannya degan kedudukan pelaku. Bahkan, mungkin saja terdapat hak miliknya dalam harta yang dikorupsinya. Mengingat dapat dimungkinkan pelaku memiliki saham dalam harta yang dikorupsinya.
Harta yang berada di bawah kekuasaan pelaku dan saham yang masih dimungkinkan berada dalam harta yang dikorupsi, menjadikan delik korupsi memiliki unsur syubhat jika disebut sebagai tindak pidana pencurian.[33]Karena hudud identik dengan perbuatan dengan ancaman yang besar, maka sanksi pidananya pun boleh dikatakan sangat berat. Dalam hal pencurian hukumannya adalah potong tangan. Sehingga apabila suatu jarimah hudud memiliki unsur syubhat, wajib untuk dibatalkan. Karena khawatir akan terjadi kekeliruan ketika penjatuhan sanksi pidana. Salah satu ungkapan dan sekaligus juga menjadi suatu kaidah dasar dalam menjatuhkan sanksi pidana yaitu hukuman hudud harus dihindarkan dengan sebab adanya unsur syubhat. Juga kaidah yang mengungkapkan bahwa lebih baik salah dalam membebaskan dari pada salah dalam menghukum.
Perbandingan antara pidana pencurian dengan korupsi, baik secara hukum maupun hukuman yang dikenakan berdasarkan hukum positif dan hukum Islam jelas memiliki karakter masing-masing. dengan tujuan pemberian hukuman yang sama-sama untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku, menakut-nakuti pelaku hingaatak berani melanggar hukum serta memelihara kemashlahatan umat dalam kehidupan bermasyarakat. Namun hukum dalam pidana Islam jelas lebih benar dan pantas untuk dilaksanakan  sesuai dengan hukum Allah yang pasti benar dan baik dibandingkan dengan hukum ciptaan manusia yang terkadang berubah-ubah dan bersifat subyektif. sedangkan pembuat hukum hakiki adalah Allah Swt. Namun sayang Indonesia bukanlah negara yang berlaku didalamnya hukum jinayah atau pelaksanaan hukum-hukum pidana tidak diberlakukan secara Islam. 


A.W. Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya : Pustaka Progressif)

Muslich, Ahmad Wardi. 2005.Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika)

Deperteman Agama. 2007. Alquran danTerjemahannya. (Surabaya : Mega Jaya Abadi)

H.A Djazuli. 2000. Fiqh Jinayah Upaya Menangulangi Kejahatan dalam Islam.(Jakarta : Rajagrafindo Persada)

M. Nurul Irfan. 2011. Korupsi Dalam Hukum Pidana  Islam. (Jakarta : Amzah)

Muhammad Abu Zahrah. 1998.Al-jarimahwa al-uqubah fi fiqh al-islami terjemahan. (Al-Qahirah, Dar Al-Arabi)

Mustafa Diibulbigha. 1984. Fiqh syafi’i terjemah ST Tahdziib. (Surabaya : CV. Bintang Pelajar)

Sayyid Sabit. 2008.Fiqh Sunnah II, (Jakarta : CV. Cakrawala Publishing)

Undang-Undang Pemberantasan Korupsi No. 31 Tahun 1999

Undang-Undang Pemberantasan Korupsi  No. 20  tahun 2000

Wahbah Az-Zuhaili. 2011. Fiqh Islam Wa AdillatuhuJilid 7.(Depok : gema insani)

Yunarti, Sri. 2012. Fiqh Jinayah. (Batusangkar : STAIN Press)

www.http:KUHP Sanksi Pencurian Pasal 362, 363 dan 365 [diakses tanggal 31 Mei 2014]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar